Jumat, 03 Mei 2013

REVIEW 2 : PERSEKONGKOLAN SEBAGAI KEJAHATAN BISNIS DIHUBUNGKAN DENGAN UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1999 TENTANG LARANGAN PRAKTEK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT (ANALISIS KASUS PENJUALAN SAHAM PT INDOMOBIL SUKSES INTERNASIONAL Tbk)


REVIEW 2 :

PERSEKONGKOLAN SEBAGAI KEJAHATAN BISNIS DIHUBUNGKAN DENGAN UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1999 TENTANG LARANGAN PRAKTEK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT (ANALISIS KASUS PENJUALAN SAHAM PT INDOMOBIL SUKSES INTERNASIONAL Tbk)

Oleh :
Helza Nova Lita, SH, MH

Berisi :

PEMBAHASAN

1.             Dasar Hukum Pembangunan Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat di Indonesia

Indonesia adalah Negara yang berdasar atas hukum. Negara hukum adalah Negara yang yang berlandaskan atas hokum dan yang menjamin keadilan bagi warganya. Maksudnya adalah segala kewenangan dan tindakan alat-alat perlengkapan Negara atau penguasa, semata-mata berdasarkan hukum atau dengan kata lain diatur oleh hukum. Hal yang demikian akan mencerminkan keadilan bagi pergaulan hidup warganya.
Hukum bertujuan untuk menjamin adanya kepastian hukum dalam masyarakat dan hokum itu harus pula bersendikan pada keadilan, yaitu asas-asas keadilan dari masyarakat itu.
Didalam pasal 33 UUD 1945 Bab XIV tentang Perekonomian Nasional dan Kesejahteraan Sosial ditegaskan antara lain:
a.            Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasarkan atas azas kekeluargaan.
b.            Cabang-cabang produksi yang penting bagi Negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh Negara.
c.            Bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
d.            Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip keadilan, kebersamaan, efisiensi, berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional.
Ekonomi Pasar Sosial berdasarkan Pasal 33 bertujuan :
a.            Mengembangkan mekanisme ekonomi pasar terkendali yang diabdikan bagi kesejahteraan masyarakat.
b.            Mendorong inisiatif swasta dalam kegiatan ekonomi dengan tetap memelihara keseimbangan kepentingan swasta dan kepentingan social dalam manajemen perekonomian melalui instrument pengendali sebagai bentuk dari intervensi pemerintah untuk mempertahankan persaingan sehat dan wajar (Gutmann, 1991 ; Stockman; 1994).
Kejahatan bisnis yang dilakukan oleh para pelaku usaha yang merugikan para pelaku usaha yang lain, dapat menimbulkan konflik yang tidak kondusif bagi pembangunan ekonomi Negara. Penerapan aturan hukum  tegas merupakan salah satu upaya untuk mencegah bentuk-bentuk kejahatan bisnis tersebut.
Lahirnya UU Anti Monopoli merupakan salah satu upaya yang dilakukan pemerintah RI untuk menciptakan iklim ekonomi yang sehat dan mencegah persaingan usaha yang tidak sehat yang dapat mematikan potensi kemajuan ekonomi bangsa. Tujuan dari undang-undang antimonopoly adalah untuk menciptakan efisiensi pada ekonomi pasar dengan mencegah monopoli, mengatur persaingan yang sehat dan bebas, dan memberikan sanksi terhadap kartel atau persekongkolan bisnis. Bagaimanapun juga ide tersebut telah lahir dari hak inisiatif DPR untuk memiliki UU Antimonopoli bagi Indonesia sejak bertahun-tahun. Berkembangnya perhatian rakyat Indonesia untuk memiliki undang-undang antimonopoly disebabkan oleh kenyataan bahwa perusahaan-perusahaan besar yang disebut konglomerat di Indonesia telah mencaplok pangsa pasar terbesar ekonomi nasional Indonesia dan dengan cara demikian mereka dapat mengatur barang-barang dan jasa, dan menetapkan harga-harga demi keuntungan mereka.

2.            Bentuk-Bentuk Larangan Usaha menurut UU Antimonopoli

Dalam undang-undang nomor 5 tahun 1999, Monopoli didefinisikan sebagai suatu bentuk penguasaan atas produksi dan atau pemasaran barang dan atau penggunaan jasa tertentu oleh satu pelaku atau satu kelompok usaha. Dalam Black’s Law Dictionary, Monopoli diartikan sebagai:
a privilege or peculiar advantage vested in one or more persons or companies, consisting in the exclusive right (or power) to carry on a particular article, or control the sale of whole supply of a particular commodity.”
            Dalam UU Antimonopoli, monopoli didefinisikan sebagai suatu bentuk penguasaan atas produksi dan atau pemasaran barang dan atau penggunaan jasa tertentu oleh satu pelaku atau satu kelompok usaha.
            Selain dari definisi monopoli dalam undang-undang juga diberikan pengertian praktek dari monopoli, yaitu:
“Pemusatan kekuatan ekonomi oleh sau atau lebih pelaku usaha yang mengkibatkan dikuasainya produksi dan atau pemasaran barang dan atau jasa tertentu sehingga menimbulkan persaingan usaha tidak sehat dan dapat merugikan kepentingan umum.”
            Dari definisi yan diberikan diatas diketahui unsur-unsur praktek monopoli yaitu:
a.            Adanya pemusatan kekuatan ekonomi;
b.            Pemusatan kekuatan tersebut berada pada satu atau lebih pelaku usaha ekonomi;
c.            Pemusatan kekuatan ekonomi tersebut menimbulkan persaingan usaha tidak sehat; dan
d.            Pemusatan kekuatan ekonomi tersebut merugikan kepentingan umum.
Selanjutnya yang dimaksud dengan pemusatan kekuatan ekonomi adalah : “penguasan yang nyata atas suatu pasar bersangkutan atas satu atau lebih pelaku usaha sehingga dapat menentukan harga barang dan jasa” dan “persaingan usaha tidak sehat adalah persaingan antar para pelaku usaha dalam menjalankan keiatan produksi dan atau pemasaran barang dan atau jasa yang dilakukan dengan cara tidak jujur atau melawan hukum atau menghambat persaingan usaha.”
Dibawah ini bentuk-bentuk yang dilarang dalam praktek monopoli berdasarkan UU Antimonopoli meliputi:
a.            Monopoli; dalam pasal 17 Ayat (1) disebutkan bahwa pelaku usaha dilarang melakukan penguasaan atas produksi dan atau pemasaran barang dan atau jasa yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat.
b.            Monopsoni; dalam pasal 18 Ayat (1) disebutkan bahwa pelaku usaha dilarang menguasai penerimaan pasokan atau menjadi pembeli tunggal atas barang dan atau jasa dalam pasar bersangkutan yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha yang tidak sehat.
c.            Penguasaan pasar; dalam pasal 19 disebutkan bahwa pelaku usaha dilarang melakukan satu atau beberapa kegiatan, baik sendiri maupun bersama pelaku usaha lain, yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat berupa:
1.     Menolak dan atau menghalangi pelaku usaha tertentu untuk melakukan kegiatan usaha yang sama pada pasar bersangkutan; atau
2.    Menghalangi konsumen atau pelanggan pelaku usaha pesaingnya untuk tidak melakukan usaha dengan pelaku usaha pesaingnya itu; atau
3.    Membatasi peredaran dan atau penjualan barang dan atau jasa pada pasar bersangkutan; atau
4.    Melakukan praktek diskriminasi terhadap pelaku usaha tertentu.
d.            Predatory Pricing; dalam pasal 20 disebutkan bahwa pelaku usaha dilarang melakukan pemasokan barang atau jasa dengan cara melakukan jual rugi atau menetapkan harga yang sangat rendah dengan maksud untuk menyingkirkan atau mematikan usaha pesaingnya di pasar bersangkutan sehingga dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli atau persaingan usaha tidak sehat.
e.            Penetapan Biaya; dalam pasal 21 disebutkan bahwa pelaku usaha dilarang melakukan kecurangan dalam menetapkan biaya produksi dan biaya lainnya yang menjadi bagian dari komponen harga barang dan atau jasa yang dapat mengakibatkan terjadinya persaingan usaha yang tidak sehat.
f.            Persekongkolan (Conspiracy to arrange); dalam pasal 22 disebutkan bahwa pelaku usaha dilarang bersekongkol dengan pihak lain untuk mengatur atau menentukan pemenang tender sehinga dapat mengakibatkan terjadinya persaingan usaha yang tidak sehat.
g.            Perolehan rahasia perusahaan; dalam pasal 23 disebutkan bahwa pelaku usaha dilarang bersekongkol dengan pihak lain mendapatkan informasi kegiatan usaha pesaingnya ang diklasifikasikan sebagi rahasia perusahaan sehingga mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat.
h.            Penghambatan Produksi dan pemasaran pesaing; dalam pasal 24 disebutkan bahwa pelaku usaha dilarang bersekongkol dengan pihak lain untuk menghambat produksi atau pemasaran barang dan jasa pelaku usaha pesaingnya dengan maksud agar barang atau jasa yang ditawarkan atau dipasok d pasar bersangkutan menjadi berkurang baik dari kualitas, maupun ketepatan waktu yang dipersyaratkan.
Selain kegiatan usaha yang dilarang diatas, dalam UU Antimonopoli juga mengatur mengenai perjanjian yang dilarang yang meliputi:
a.            Oligopoli
b.            Penetapan harga
c.            Diskriminasi harga
d.            Predatory Pricing
e.            Resale Price Maintenance
f.            Pembagian wilayah
g.            Pemboikotan
h.            Kartel
i.              Trust
j.             Oligopsoni
k.            Integrasi vertical
l.              Perjanjian tertutup dan Tying
m.           Perjanjian dengan pihak luar negeri yang menyebabkan terjadinya praktek monopoli dan persaingan usaha yang tidak sehat.
Persekongkolan merupakan salah satu bentuk larangan dalam praktek bisnis yang diatur dalam UU Antimonopoli Persekongkolan atau konspirasi dalam pasal 1 Angka 8 UU Antimonopoli adalah bentuk kerjasama yang dilakukan oleh pelaku usaha dengan pelaku usaha lain dengan maksud untuk menguasai pasar bersangkutan bagi kepentingan pelaku usaha yang bersekongkol.
      Dalam prakteknya tidak dapat dipungkiri masih banyaknya pelanggaran ang berkitan dengan persaingan usaha yang tidak sehat. Seperti kasus persekongkolan untuk memenangkan proyek tender yang melibatkan baik perusahaan BUMN maupun swasta. Salah satu contoh kasus persekongkolan yang dilaporkan kepada Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) adalah kasus persekongkolan terhadap tender penjualan saham dan obligasi konversi PT Indomobil Sukses Internasional Tbk yang merugikan Negara dan peserta tender yang lain. Sehingga dengan demikian dapat dikategorikan sebaga perbuatan kejahatan bisnis. Persekongkolan tersebut juga disinyalir bekerja sama dengan BPPN, untuk itu KPPU merekomendasikan kepada Menteri Keuanga dan Kejaksaan Agung untuk memeriksa BPPN. KPPU juga memutuskan PT Cipta Sarana Duta Perkasa (CSDP) sebagai pemenang tender harus membayar ganti rugi sebesar Rp 228 milyar dan denda Rp 5 milyar. Selain itu, PT CSDP dilarang memgikuti segala transaksiyang terkait dengan BPPN selama 2 tahun. Dari pemeriksaan terhadap 170 surat dan dokumen, serta saksi-saksi, ditemukan adanya penyesuaian dokumen tender oleh 2 dari 3 peserta tender, yaitu PT Alfa Sekuritas dan PT CSDP untuk memenangkan CSDP. Dokumen tender yang mirip tersebut adalah cover letter dan usulan mark up CSPLTA.
      UU Antimonopoli mengatur pula larangan penyalahgunaan posisi dominan, jabatan rangkap, konsentrasi pemilikan saham, serta larangan penggabungan, peleburan, dan pengambilalihan badan usaha yang mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat.
      Berkaitan dengan jabatan rangkap yang dilarang dalam UU Antimonopoli, bahwa seseorang yang menduduki jabatan sebagai direksi atau komisaris dari suatu perusahaan, pada waktu yang bersamaan dilarang merangkap menjadi direksi atau komisaris pada perusahaan lain, perusahaan-perusahaan tersebut:
a.            Berada dalam pasar bersangkutan yang sama;
b.            Memiliki keterkaitan yang erat dalam bidang da atau jenis usaha; atau
c.            Secara bersama-sama dapat menguasai pasar barang dan atau jasa tertentu, yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat.
Prof. Dr. C.F.G. Sunaryati Hartono, S.H., dalam bukunya yang berjudul “Politik hukum menuju atu system hukum nasional”, berkaitan dengan praktek bisnis yang tidak sehat, menjelaskan bahwa bukan hanya praktek-praktek persaingan usaha saja yang perlu dilarang, akan tetapi termasuk klausula dalam kontrak yang secara nyata menyebabkan timbulnya keuntungan yang tidak wajar atau tidak sebanding dengan besarnya pada satu pihak, sementara pihak yang lain pada saat yang sama semakin terdesak kedudukan ekonominya. Selanjutnya beliau menjelaskan kontrak-kontrak atau praktek-praktek bisnis yang dapat dikualifikasikan contracts in restraint of trade:
a.            Price Fixing Contracts: adalah kontrak tentang penetapan harga yang dilakukan oleh para pengusaha yang bersaing yang berisi penetapan harga jual suatu barang atau produk. Tujuan dari kontrak ini adalah untu menghilangkan salah satu bentuk persaingan usaha.
b.            Division Of Markets: adalah suatu persetujuan diantara para pengusaha untuk membagi wilayah pemasaran menjadi bagian mereka masing-masing, lengkap dengan hak-hak istimewa atau eksklusif untuk pemasaran produk mereka.
c.            Tying in atau Tie in Contracts: adalah suatu kontrak dagang yang berisi ketentuan bahwa penjual akan menjual suatu barang kepada pembeli, jika pembeli juga membeli barang dari penjual yang sama. Barang tersebut biasanya saling dikaitkan satu dengan yang lain.
d.            Exclusive Contracts: dalam system hokum “common law”, yang dimaksud dengan exclusive contracts adalah suatu kontrak dalam hal manasaja satu pihak setuju untuk mengikat dirinya dengan suatu kewajiban untuk menjual atau membeli barang untuk semua kebutuhannya hanya dari satu orang tertentu saja.
e.            Group Boycotts: adalah persekongkolan antara beberapa perusahaan untuk secara bersama-sama menolak menjalin hubungan dagang dengan satu atau beberapa perusahaan tertentu, dengan maksud untuk menghilangkan persaingan yang ditimbulkan oleh perusahaan yang bersekongkol atau untuk membatasi kegiatan bisnis dari pihak ketiga itu.
f.            Monopolization and Intent to Monopolize: merupakan suatu “combine or conspire to acquire or maintain power to exclude competitors from any part of trade of commerce, provided they also have such power that they are able, as agroup, to exclude actual or potential competition and provided that they have intent and purpose to exercise that power.”
g.            Merger: adalah suatu usaha peleburan dari suatu perusahaan kedalam perusahaan lain dimana perusahaan satu perusahaan tetap mempertahankan identitasnya semula, melakukan pengambilalihan kekayaan, tanggung jawab, dan kuasa atas perusahaan yang meleburkan diri tersebut yang tidak lagi menjadi satu badan usaha yang mandiri.
h.            Price discrimination: yaitu pembeli harus membayar harga yang berbeda dibanding dengan harga yang harus dibayar oleh pembeli lain untuk barang yang sama. Kebijakan Price Discrimination yang dilakukan pengusaha biasanya bertujuan untuk mengalahkan saingannya sehingga praktek ini jelas dapat mengganggu mekanisme pasar.
i.              Interlocking Directorate: yaitu apabila dewan direksi suatu perusahaan sangat erat kaitannya dengan dewan direksi perusahaan lain, karena misalnya anggota direksi kedua perusahaan tersebut terdiri dari orang-orang yang sama.
j.             Unfair Labor Practices: yaitu tindakan yang tidak layak yang dilakukan oleh perusahaan terhadap tenaga kerja yang mereka gunakan, misalnya tindakan diskriminasi, ancaman dan tekanan, larangan pembentukan serikat buruh, dsb
Dalam pasal 50 UU Antimonopoli memuat kegiatan yang dikecualikan sbb:
a.            Perbuatan dan atau perjanjian yang bertujuan melaksanakan peraturan perundang-undangan yang berlaku; atau
b.            Perjanjian yang berkaitan dengan hak atas kekayaan intelektual seperti lisensi, paten, merk dagang, hak cipta, desain produk industry, rangkaian-rangkaian elektronik terpadu, dan rahasia dagang serta perjanjian yang berkaitan dengan waralaba; atau
c.            Perjanjian penetapan standar teknis produk barang atau jasa tidak mengekang, dan atau menghalangi persaingan; atau
d.            Perjanjian dalam rangka keagenan yang isinya tidak memuat ketentuan untuk memasok kembali barang dan atau jasa dengan harga yang lebih rendah daripada harga yang telah diperjanjikan; atau
e.            Perjanjian kerjasama penelitian untuk peningkatan atau oerbaikan standar hidup masyarakat luas; atau
f.            Perjanjian internasional yang telah diratifikasi oleh pemerintah Republik Indonesia; atau
g.            Perjanjian dan atau perbuatan yang bertujuan untuk ekspor yang tidak mengganggu kebutuhan dan atau pasokan pasar dalam negeri; atau
h.            Pelaku usaha yang tergolong dalam usaha kecil; atau
i.              Kegiatan usaha koperasi yang khusus bertujuan untuk melayani kebutuhan anggotanya.
Prinsip moral seperti kebenaran, kebaikan, dan keadilan yang menjadi panutan individu sebagai anggota masyarakat, adalah sumber dari sikap tindak. Seperti hukum, etika menjadi standar tingkah laku individu, namun etika tidak ditegakkan dan dipaksakan oleh kekuasaan luar seperti pemerintah atau Negara. Standar etika berasal dari standar moral dari dalam individu dan ditegakkan oleh individu yang bersangkutan.
Kalangan bisnis harus tetap mempertimbangkan disamping aspek hokum juga tanggung jawab moral dari kegiatan mereka. Namun demikian walaupun dunia bisnis mengakui kewajiban untuk berperilaku etis, terkadang menemui kesulitan dalam prosedur penerapan kewajiban tersebut. Salah satu kesulitannya adalah dari kenyataan yang semakin berkembang bahwamasalah moral muncul dari segala aspek kegiatan bisnis. Semua keputusan bisnis yang menimbulkan ketidakpastian dan konsekuensi yang berkepanjangan yang mempengaruhi orang banyak, organisasi, dan bahkan kegiatan pemerintah, dapat menimbulkan masalah etika yang serius.
Sanksi yang diberikan terhadap pelanggaran pelaksanaan ketentuan UU Antimonopoli secara garis besar meliputi:
a.            Sanksi administrasi (Pasal 47 Ayat (2))
b.            Sanksi pidana pokok (Pasal 48); dan
c.            Sanksi pidana tambahan (Pasal 49)
Sanksi administrasi dalam pasal 47 Aayat (2) antara lain dapat berupa pembatalan perjanjian, perintah kepada pelaku usaha untuk menghentikan integrasi vertical, menghentikan kegiatan usaha, pembayaran ganti rugi dan denda sebesar-besarnya Rp 25.000.000.000,00 (dua puluh lima miliar rupiah) dan serendah-rendahnya Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
            Sementara itu untuk sanksi pidana pokok meliputi pidana denda dan atau pengganti denda pidana kurungan. Sementara itu sanksi pidana tambahan dapat meliputi:
a.            Pencabutan ijin usaha
b.            Larangan kepada pelaku usaha yang telah terbukti melakukan pelanggaran terhadap UU ini untuk menduduki jabatan direksi atau komisaris sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun dan selama-lamanya 5 (lima) tahun; atau
c.            Penghentian kegiatan atau tindakan tertentu yang menyebabkan timbulnya kerugian pada pihak lain.


Nama  : Wiwi Kusmiarti
NPM   : 27211460
Kelas  : 2EB09
Tahun : 2012


Tidak ada komentar:

Posting Komentar