Rabu, 06 Mei 2015

Akuntansi Internasional (Tugas 2)



REGIONAL VS GLOBAL
(Industri Keuangan Bank)

Pasar bebas ASEAN merupakan suatu keharusan, Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) di bidang keuangan dan perbankan akan mulai berlaku pada tahun 2020. Menghadapi Masyarakat Ekonomi ASEAN tersebut, para pelaku industri perbankan mulai berbenah. Mereka sangat menyadari kekuatan bank asing yang akan mereka hadapi. Dilansir dari kontan.co.id, Direktur Utama Bank Mandiri Budi Gunadi Sadikin mengungkapkan bahwa, bank-bank nasional Indonesia akan berhadapan dengan bank-bank negara tetangga, yang aset dan modalnya kemungkinan besar mencapai 10 sampai dengan 20 kali lipat dibandingkan perbankan nasional di tahun 2020 nanti. Contohnya, DBS Group Holding. Perbankan milik Pemerintah Singapura tersebut merajai perbankan ASEAN dengan aset sebesar US$ 318,4 miliar. Sementara dari daftar 15 besar bank terbesar, hanya Bank Mandiri dan Bank Rakyat Indonesia (BRI) yang mewakili pemerintah. Layaknya pertarungan di ring tinju, perbankan nasional bagaikan kelas ringan melawan perbankan negara tetangga yang diibaratkan kelas berat. Sehingga, pertarungan pun menjadi tidak seimbang. Untuk itu, pihaknya terus melakukan persiapan sehingga bank nasional mempunyai bobot yang berimbang dengan bank asing.
Berlakunya kesepakatan Masyarakat Ekonomi ASEAN tinggal sebentar lagi. Sayangnya, hingga saat ini kesiapan pelaku bisnis Indonesia, khususnya di sektor perbankan belum optimal. Hingga mendekati akhir kuartal pertama tahun 2015, belum ada satu pun bank di Indonesia yang pantas masuk Qualified ASEAN Bank. Padahal, jika berhasil lolos kualifikasi QAB, tiket ekspansi regional sudah ditangan. Nelson Tampubolon, Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Bidang Perbankan, beberapa waktu lalu pernah mengatakan, jika ada, mungkin hanya bank BUMN yang punya potensi masuk kategori QAB. Itupun hanya tiga bank, yakni Bank Mandiri, Bank Rakyat Indonesia (BRI), dan Bank Negara Indonesia (BNI). Untuk perbankan swasta, hampir semua bank yang punya kepantasan masuk kategori tersebut sebagian sahamnya sudah dimiliki oleh asing. Jikapun ada yang belum diakuisisi asing, mereka enggan berekspansi secara regional terkait dengan efisiensi kinerja.
      Indonesia kini tengah berpacu dengan waktu dalam menyambut pelaksanaan pasar bebas Asia Tenggara atau biasa disebut dengan Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) yang akan dimulai pada tahun 2015. ASEAN telah menyepakati sektor-sektor prioritas menuju momen tersebut. Ketika berlangsung ASEAN Summit ke-9 tahun 2003 ditetapkan 11 Priority Integration Sectors (PIS). Namun pada tahun 2006 PIS yang ditetapkan berkembang menjadi 12 yang dibagi dalam dua bagian yaitu tujuh sektor barang industri dan lima sektor jasa. Ketujuh sektor barang industri terdiri atas produk berbasis pertanian, elektronik, perikanan, produk berbasis karet, tekstil, otomotif, dan produk berbasis kayu. Sedangkan kelima sektor jasa tersebut adalah transportasi udara, e-asean, pelayanan kesehatan, turisme dan jasa logistik.
      Keinginan ASEAN membentuk MEA didorong oleh perkembangan eksternal dan internal kawasan. Dari sisi eksternal, Asia diprediksi akan menjadi kekuatan ekonomi baru, dengan disokong oleh India, Tiongkok, dan negara-negara ASEAN. Sedangkan secara internal, kekuatan ekonomi ASEAN sampai tahun 2013 telah menghasilkan GDP sebesar US$ 3,36 triliun dengan laju pertumbuhan sebesar 5,6 persen dan memiliki dukungan jumlah penduduk 617,68 juta orang.
      Asean Economi Community atau (MEA) akan segera dihadapi Indonesia. Konsekuensi dari kesepakatan tersebut membuka lebar pasar ekonomi di kawasan regional Asean karenanya, jika ingin terlibat dan diperhitungkan, Indonesia harus berbenah. Semua sector industry harus dilengkapi kemampuan untuk bisa bersaing dengan negara ASEAN lainya. Tujuan yang ingin dicapai melalui MEA adalah adanya aliran bebas barang, jasa, dan tenaga kerja terlatih, serta aliran investasi yang lebih bebas. Dalam penerapanya pada 2015, MEA akan menerapkan 12 sektor prioritas yang disebut free flow of skilled labor (arus bebas tenaga kerja terampil).

Peluang perbankan Indonesia untuk bersaing di pasar bebas Asean
      Peluang perbankan Indonesia di pasar bebas asean sebenarnya cukup besar. Paling tidak bagi Indonesia ada beberapa faktor yang mendukung seperti peringkat Indonesia yang berada pada rangking 16 dunia dalam besaran skala ekonomi dengan 108 juta penduduk. Dimana, jumlah penduduk ini merupakan kelompok menengah yang sedang tumbuh. Sehingga berpotensi sebagai pembeli barang-barang impor (sekitar 43 juta penduduk).
      Kemudian perbaikan peringkat investasi Indonesia oleh lembaga pemeringkat dunia, dan masuknya Indonesia sebagai peringkat ke 4 prospective destination berdasarkan UNCTAD world investement report. Dan, pemerintah sendiri telah menerbitkan aturan (keputusan Presiden) No.37/2014 yang memuat banyak indicator yang harus dicapai dalam upaya untuk meningkatkan daya saing nasional dan kesiapan menghadapi MEA yang akan dimulai 2015 itu. Awal September lalu telah diterbitkan juga inpres No.6/2014, tentang peningkatan daya saing menghadapi Masyarakat Ekonomi Asean, pemerintah Indonesia sudah menyiapkan pengembangan sector industry, agar bisa bersaing di pasar bebas ASEAN itu. Sebut saja upaya pengembangan industry perbankan yang masuk dalam 10 pengembangan industry yang harus diantar kegerbang pasar bebas dengan semua keunggulanya.
      Menjelang beberapa bulan penerapan MEA, semua sektor memang harus dihadapi, siap tidak siap industri perbankan di Indonesia tak hanya harus menjadi tuan rumah di negara sendiri, tapi juga memperlebar ekspansinya kenegara ASEAN lainya. Dan para pengambil kebijakan sudah sewajarnya mendorong kalangan perbankan nasional untuk menyiapkan SDM, memperkuat modal didalam rangka penerapan Basel III dan membangun sistem teknologi yang yang terintegratif.

Kesiapan sektor perbankan Indonesia di pasar bebas ASEAN
      Sektor perbankan Indonesia harus siap untuk itu. Karenanya, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) perlu merancang  peta jalan atau roadmap perbankan Indonesia. Adapun pembuatan roadmap tersebut secara terperinci dapat berupa arah yang lebih jelas dalam hal konsolidasi perbankan dalam negeri, guna memperbesar size suatu bank, baik secara alami maupun secara market driven. Perbankan nasional, khususnya bank BUMN juga harus berperan aktif mengantisipasi pemberlakuan MEA 2015. Era bebas pasar ini, dipastikan akan membuka alur lalu lintas barang dan jasa serta pasar semakin lebar. Karenanya, pertumbuhan ekonomi regional harus terintegrasi dengan ekonomi global. Dengan demikian, perbankan nasional memerlukan kesamaan pandang dalam melihat pertumbuhan ekonomi regional. Dengan kesamaan pandang regional itu, diharapkan perbankan Indonesia akan dapat menyelesaikan planning (rencana), strategi, sasaran yang tepat bagi kemajuan ekonomi Indonesia.
      Jika ingin terlibat aktif dan tidak terlindas dalam era bebas pasar ASEAN, peran institusi seperti Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) juga penting guna meningkatkan Good corporate government (GCG) pada industri perbankan di Indonesia. Selain itu perbankan nasional juga perlu mengajak stake holder, seperti perhimpunan bank-bank nasional (PERBANAS) dan institute bangkir Indonesia (IBI) untuk menstimulasi semakin baiknya GCG bank untuk menghadapi pasar bebas ekonomi ASEAN.
      Bagaimanapun beratnya tantangan industri perbankan regional, upaya mendorong efisiensi sektor perbankan yang berdaya saing tinggi harus terus dilakukan. Hingga kini perbankan di Indonesia masih dinilai boros di biaya operasional. Audit terhadap tingkat efisiensi bank terutama bank BUMN yang memimpin pasar di Industri keuangan nasional ini, juga menjadi indikator keberhasilan perbankan dalam mengelola rasio beban operasional terhadap pendapatan operasional (BOPO) nya. Semakin rendah maka kekuatan daya saingnya akan semakin tinggi. Sebaliknya, semakin tinggi efektivitas perbankan, semakin kuat juga perbankan nasional untuk menciptakan lingkungan bisnis yang sehat, sehingga akan menambah kuat kemampuan diri dalam menyongsong era pasar bebas ASEAN. Kompetisi bisnis perbankan sangat ketat. Tidak hanya di industry domestic, industry perbankan regional dan global jauh lebih menantang. Perbankan di regional ASEAN memiliki tingkat kesehatan yang sangat tinggi.
      Semakin ketatnya persaingan antara bank asing dengan bank lokal sebenarnya mulai terasa dalam beberapa tahun terakhir. Seiring dengan derasnya aliran masuk investor asing ke bank-bank nasional. Bank-bank asing mengakuisisi saham bank nasional karena mereka ingin menjalankan bisnis perbankan di Indonesia, mengingat pangsa pasar yang masih luas dan margin yang besar.
      Saat ini pangsa pasar bank-bank BUMN semakin tergerus, meski era persaingan bebas dengan bank-bank asing besar dari negara-negara ASEAN baru akan berlaku 5 tahun lagi. Data statistik Perbankan Indonesia menunjukkan, selama periode Desember 2010 hingga September 2014, penguasaan pangsa pasar aset bank-bank asing dan campuran terhadap total aset perbankan nasional semakin membesar, yakni dari 12,37 persen menjadi 12,88 persen. Sedangkan pada saat yang sama, penguasaan pangsa pasar aset bank-bank BUMN semakin tergerus, yakni dari 37,07 persen menjadi tinggal 34,29 persen terhadap total aset industri perbankan. Chief Research and Strategy Network of Market Investor (NMI) Reagy Sukmana mengatakan sudah saatnya pemerintah melakukan aksi nyata dan tidak sekedar bermain wacana lagi mengingat persaingan liberisasi perbankan tahun 2020 sudah didepan mata.

Peran Strategis yang Terabaikan
      Terkait peran strategis di ASEAN, Indonesia diharuskan memiliki bank besar dengan modal kuat. Hal ini mengingat Indonesia mencakup lebih dari 40 persen luas wilayah ASEAN, dengan populasi mencapai 39 persen dari total populasi ASEAN. Dari tingkat output perekonomian, Indonesia juga mempunyai peran signifikan dengan menyumbang sedikitnya 35% Product Domestic Bruto (PDB) kawasan. Bisa dikatakan Indonesia adalah ASEAN, dan ASEAN adalah Indonesia.
      Belum adanya perbankan nasional yang pantas menjadi QAB sangatlah mengkhawatirkan. Bank Mandiri misalnya. Sebagai bank terbesar, bank tersebut “hanya” punya sokongan pemodalan Rp 92 triliun atau 8 miliar dollar AS (unaudited) pada akhir tahun 2014. Bandingkan dengan kolega ASEAN seperti DBS, UOB, OCBO (Singapura), dan Maybank (Malaysia) yang punya total kepemilikan aset lebih dari 20 miliar dollar AS. Dengan nilai modal tersebut, Bank Mandiri harus puas menduduki peringkat tujuh diantara bank-bank negara ASEAN lainnya. Belum lagi terkait persyaratan rasio kecukupan modal (CAR) Bank Mandiri yang kini 16 persen, sedangkan untuk memenuhi kategori QAB minimal 17,5 persen pada 2019. Padahal menurut Rini Soemarno, Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Bank Mandiri merupakan bank pelat merah yang paling siap untuk menjadi calon QAB, baik dari jumlah modal, prospek, maupun fokus usaha. Namun, modal yang ada saat ini, sebesar Rp 92 triliun, jelas dirasa belum cukup. Itu dari sisi aset dan persyaratan pemodalan. Lain halnya dengan tingkat penetrasi pasar.
      Kondisi sekarang masih jauh dari ideal. Berdasarkan zonasi yang dibuat oleh Bank Indonesia, tingkat penetrasi Bank Mandiri (dan seluruh bank nasional lainnya) hanya berkutat di zona 1 hingga 5. Zona 6 yang terdiri atas Nusa Tenggara Timur (NTT), Nusa Tenggara Barat (NTB), Sulawesi Tengah (Sulteng), Gorontalo, Sulawesi Barat (Sulbar), Maluku, Maluku Utara, Papua, dan Papua Barat rupanya masih menjadi anak tiri dan kurang digarap secara maksimal.
      Dibandingkan dengan penetrasi yang dilakukan DBS, UOB, ataupun OCBC yang telah merambah hingga punya ratusan cabang diseluruh kawasan Asia Tenggara. Saat ini, hanya beberapa bank lokal yang memiliki kesempatan membuka cabang di luar negeri. BNI memiliki lima kantor cabang di luar negeri, yakni di London, New York, Tokyo, Singapura, dan Hongkong. Sebanyak satu sub cabang di Osaka, cabang berkegiatan terbatas di Singapura, dan remittance representative yang tersebar di Malaysia, Saudi Arabia, Qatar, Uni Emirat Arab, dan Amerika Serikat.



Sumber:



Nama        : Wiwi Kusmiarti
NPM         : 27211460
Kelas         : 4EB09
Akuntansi Internasional