Jumat, 03 Juli 2015

Akuntansi Internasional (Tugas 3)

Sejarah Perkembangan Standar Akuntansi di Indonesia digabung dengan Konvergensi IFRS di Indonesia



Perkembangan Standar Akuntansi Keuangan yang ada di Indonesia

  1. Pada masa penjajahan Belanda, Indonesia memakai standar (Sound Business Practices) yang merupakan standar Belanda (1945). 
  2. Sampai dengan tahun 1955, Indonesia belum  mempunyai undang-undang resmi atau aturan yang mengatur tentang standar keuangan. 
  3. Tahun 1955 sampai dengan 1974, Indonesia mengikuti Standar Akuntansi Amerika yang dibuat oleh IAI yang disebut dengan Prinsip Akuntansi atau PAI. 
  4. Pada tahun 1984, Prinsip Akuntansi di Indonesia mulai ditetapkan menjadi Standar Akuntansi
  5.  Pada akhir tahun 1984, Standar Akuntansi di Indonesia mengikuti standar yang bersumber dari IASC (International Accounting Standart Committee). 
  6. Tahun 1994, IAI sudah committed mengikuti IASC atau IFRS 
  7. Tahun 2008, diharapkan perbedaan PSAK dan IFRS akan dapat diselesaikan. 
  8. Tahun 2012, Indonesia mulai mengadopsi IFRS.
  9. Tahun 2013, belum semua perusahaan menggunakan IFRS secara penuh.


Konvergensi IFRS di Indonesia
Di Indonesia saat ini sedang dalam tahapan pengkonvergensian dalam menggunakan standar akuntansi dari PSAK ke tahap IFRS. Standar Pelaporan Keuangan Internasional (International Financial Reporting Standards / IRFS) adalah standar dan beserta interprestasinya yang diumumkan oleh Dewan Standar Akuntansi Internasional (Internastional Accounting Standards Boards). IFRS merupakan suatu standar ataupun pedoman pelaporan keuangan secara internasional dan juga interprestasi yang diciptakan oleh Komite Interprestasi Pelaporan Keuangan Internasional.
Pengadopsian di Indonesia telah dilakukan dengan cara memperkenalkan susunan-susunan yang ada pada IFRS agar mulai dikenal dalam lingkungan Indonesia. Berikut susunan-susunannya: 

  1. Penyajian laporan keuangan 
  2. Pengakuan pendapatan 
  3. Biaya penggajin 
  4. Biaya pinjaman 
  5. Pajak penghasilan
  6. Investasi pada perusahaan asosiasi
  7. Persediaan
  8. Aktiva tetap 
  9. Aktiva tidak berwujud 
  10. Sewa 
  11. Pensiun 
  12. Penggabungan usaha 
  13. Kurs valuta asing 
  14. Operasi segmen
  15. Kejadian setelah tanggal neraca

Dalam melakukan konvergensi IFRS, terdapat dua macam strategi adopsi, yaitu big bang strategy dan gradual strategy. Big bang strategy mengadopsi penuh IFRS sekaligus, tanpa melalui tahapan-tahapan tertentu, strategi ini digunakan oleh negara –negara maju. Sedangkan pada gradual strategy , adopsi IFRS dilakukan secara bertahap, strategi ini digunakan oleh negara – Negara berkembang seperti Indonesia.
Terdapat 3 tahapan dalam melakukan konvergensi IFRS di Indonesia, yaitu: 

  1. Tahap Adopsi (2008 – 2011), meliputi aktivitas dimana seluruh IFRS diadopsi ke PSAK, persiapan infrastruktur yang diperlukan, dan evaluasi terhadap PSAK yang berlaku. 
  2. Tahap Persiapan Akhir (2011), dalam tahap ini dilakukan penyelesaian terhadap persiapan infrastruktur yang diperlukan. Selanjutnya, dilakukan penerapan secara bertahap beberapa PSAK berbasis IFRS.
  3. Tahap Implementasi (2012), berhubungan dengan aktivitas penerapan PSAK IFRS secara bertahap. Kemudian dilakukan evaluasi terhadap dampak penerapan PSAK secara komprehensif.

Posisi IFRS / IAS yang sudah diadopsi hingga saat ini dan akan diadopsi pada tahun 2009 dan 2010 adalah seperti yang tercantum dalam berikut ini:
IFRS/IAS yang Telah Diadopsi ke dalam PSAK hingga 31 Desember 2008 

  1. IAS 2 Inventories 
  2. IAS 10 Events after balance sheet date
  3. IAS 11 Construction contract 
  4. IAS 16 Property, plant and equipment 
  5. IAS 17 Leases 
  6. IAS 18 Revenues
  7. IAS 19 Employee benefits 
  8. IAS 23 Borrowing costs
  9. IAS 32 Financial instruments: presentation
  10. IAS 39 Financial instruments: recognition and measurement
  11. IAS 40 Investment property

IFRS/IAS yang Akan Diadopsi ke dalam PSAK pada Tahun 2009

  1. IFRS 2 Share-based payment
  2. IFRS 4 Insurance contracts 
  3. IFRS 5 Non-current assets held for sale and discontinued operations 
  4. IFRS 6 Exploration for and evaluation of mineral resources 
  5. IFRS 7 Financial instruments: disclosures 
  6. IAS 1 Presentation of financial statements
  7. IAS 27 Consolidated and separate financial statement 
  8. IAS 28 Investments in associates
  9. IFRS 3 Business combination
  10. IFRS 8 Segment reporting
  11. IAS 8 Accounting policies, changes in accounting estimates and errors 
  12. IAS 12 Income taxes 
  13. IAS 21 The effects of changes in foreign exchange rates 
  14. IAS 26 Accounting and reporting by retirement benefit plans 
  15. IAS 31 Interests in joint venture 
  16. IAS 36 Impairment of assets
  17. IAS 37 Provisions, contingent liabilities and contingent asset 
  18. IAS 38 Intangible assets
IFRS/IAS yang Akan Diadopsi ke dalam PSAK pada Tahun 2010
  1.  IAS 7 Cash Flow Statements 
  2. IAS 20 Accounting for government grants and disclosure of government assistance 
  3. IAS 24 Related party disclosures 
  4. IAS 29 Financial reporting in hyperinflationary economies
  5. IAS 33 Earning per share
  6. IAS 34 Interim financial reporting
  7. IAS 41 Agriculture

Revisi terbaru PSAK yang mengacu pada IFRS

  1. PSAK No. 13 (revisi 2007) tentang Properti Investasi yang menggantikan PSAK No. 13 tentang Akuntansi untuk Investasi (disahkan 1994), 
  2. PSAK No. 16 (revisi 2007) tentang Aset Tetap yang menggantikan PSAK 16 (1994) : Aktiva Tetap dan Aktiva Lain-lain dan PSAK 17 (1994) Akuntansi Penyusutan, 
  3. PSAK No. 30 (revisi 2007) tentang Sewa menggantikan PSAK 30 (1994) tentang Sewa Guna Usaha
  4. PSAK AK No. 50 (revisi 2006) tentang Instrumen Keuangan : Penyajian dan Pengungkapan yang menggantikan Akuntansi Investasi Efek Tertentu 
  5. PSAK No. 55 (revisi 2006) tentang Instrumen Keuangan : Pengakuan dan Pengukuran yang menggantikan Akuntansi Instrumen Derivatif dan Aktivitas Lindung Nilai.

Dengan adanya penyempurnaan dan pengembangan PSAK secara berkelanjutan dari tahun ke tahun, saat ini terdapat tiga PSAK yang pengaturannya sudah disatukan dengan PSAK terkait yang terbaru sehingga nomor PSAK tersebut tidak berlaku lagi, yaitu :

  1. PSAK No. 9 (Revisi 1994) tentang Penyajian Aktiva Lancar dan Kewajiban Jangka Pendek pengaturannya disatukan dalam PSAK No. 1 (Revisi 1998) tentang Penyajian Laporan Keuangan; 
  2. PSAK No. 17 (Revisi 1994) tentang Akuntansi Penyusutan pengaturannya disatukan dalam PSAK No. 16 (Revisi 2007) tentang Aset Tetap; 
  3. PSAK No. 20 tentang Biaya Riset dan Pengembangan (1994) pengaturannya disatukan dalam PSAK No. 19 (Revisi 2000) tentang Aset Tidak Berwujud.

PSAK yang sedang dalam proses revisi
Dewan Standar Akuntansi Keuangan (DSAK) sedang dalam proses merevisi 3 PSAK berikut (Sumber: Deloitte News Letter, 2007):
-          PSAK 22 : Accounting for Business Combination, which is revised by reference to IFRS 3 : Business Combination;
-          PSAK 58 : Discontinued Operations, which is revised by reference to IFRS 5 : Non-current Assets Held for Sale and Discontinued Operations;
-          PSAK 48 : Impairment of Assets, which is revised by reference to IAS 36 : Impairment of Assets
Berikut adalah program pengembangan standar akuntansi nasional oleh DSAK dalam rangka konvergensi dengan IFRS (Sumber: Ikatan Akuntan Indonesia, 2008):

  1. Pada akhir 2010 diharapkan seluruh IFRS sudah diadopsi dalam PSAK; 
  2. Tahun 2011 merupakan tahun penyiapan seluruh infrastruktur pendukung untuk implementasi PSAK yang sudah mengadopsi seluruh IFRS;
  3. Tahun 2012 merupakan tahun implementasi dimana PSAK yang berbasis IFRS wajib diterapkan oleh perusahaan-perusahaan yang memiliki akuntabilitas publik. Namun IFRS tidak wajib diterapkan oleh perusahaan-perusahaan lokal yang tidak memiliki akuntabilitas publik. Pengembangan PSAK untuk UKM dan kebutuhan spesifik nasional didahulukan.



Sumber:


Nama   : Wiwi Kusmiarti
NPM   : 27211460
Kelas   : 4EB09

Rabu, 06 Mei 2015

Akuntansi Internasional (Tugas 2)



REGIONAL VS GLOBAL
(Industri Keuangan Bank)

Pasar bebas ASEAN merupakan suatu keharusan, Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) di bidang keuangan dan perbankan akan mulai berlaku pada tahun 2020. Menghadapi Masyarakat Ekonomi ASEAN tersebut, para pelaku industri perbankan mulai berbenah. Mereka sangat menyadari kekuatan bank asing yang akan mereka hadapi. Dilansir dari kontan.co.id, Direktur Utama Bank Mandiri Budi Gunadi Sadikin mengungkapkan bahwa, bank-bank nasional Indonesia akan berhadapan dengan bank-bank negara tetangga, yang aset dan modalnya kemungkinan besar mencapai 10 sampai dengan 20 kali lipat dibandingkan perbankan nasional di tahun 2020 nanti. Contohnya, DBS Group Holding. Perbankan milik Pemerintah Singapura tersebut merajai perbankan ASEAN dengan aset sebesar US$ 318,4 miliar. Sementara dari daftar 15 besar bank terbesar, hanya Bank Mandiri dan Bank Rakyat Indonesia (BRI) yang mewakili pemerintah. Layaknya pertarungan di ring tinju, perbankan nasional bagaikan kelas ringan melawan perbankan negara tetangga yang diibaratkan kelas berat. Sehingga, pertarungan pun menjadi tidak seimbang. Untuk itu, pihaknya terus melakukan persiapan sehingga bank nasional mempunyai bobot yang berimbang dengan bank asing.
Berlakunya kesepakatan Masyarakat Ekonomi ASEAN tinggal sebentar lagi. Sayangnya, hingga saat ini kesiapan pelaku bisnis Indonesia, khususnya di sektor perbankan belum optimal. Hingga mendekati akhir kuartal pertama tahun 2015, belum ada satu pun bank di Indonesia yang pantas masuk Qualified ASEAN Bank. Padahal, jika berhasil lolos kualifikasi QAB, tiket ekspansi regional sudah ditangan. Nelson Tampubolon, Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Bidang Perbankan, beberapa waktu lalu pernah mengatakan, jika ada, mungkin hanya bank BUMN yang punya potensi masuk kategori QAB. Itupun hanya tiga bank, yakni Bank Mandiri, Bank Rakyat Indonesia (BRI), dan Bank Negara Indonesia (BNI). Untuk perbankan swasta, hampir semua bank yang punya kepantasan masuk kategori tersebut sebagian sahamnya sudah dimiliki oleh asing. Jikapun ada yang belum diakuisisi asing, mereka enggan berekspansi secara regional terkait dengan efisiensi kinerja.
      Indonesia kini tengah berpacu dengan waktu dalam menyambut pelaksanaan pasar bebas Asia Tenggara atau biasa disebut dengan Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) yang akan dimulai pada tahun 2015. ASEAN telah menyepakati sektor-sektor prioritas menuju momen tersebut. Ketika berlangsung ASEAN Summit ke-9 tahun 2003 ditetapkan 11 Priority Integration Sectors (PIS). Namun pada tahun 2006 PIS yang ditetapkan berkembang menjadi 12 yang dibagi dalam dua bagian yaitu tujuh sektor barang industri dan lima sektor jasa. Ketujuh sektor barang industri terdiri atas produk berbasis pertanian, elektronik, perikanan, produk berbasis karet, tekstil, otomotif, dan produk berbasis kayu. Sedangkan kelima sektor jasa tersebut adalah transportasi udara, e-asean, pelayanan kesehatan, turisme dan jasa logistik.
      Keinginan ASEAN membentuk MEA didorong oleh perkembangan eksternal dan internal kawasan. Dari sisi eksternal, Asia diprediksi akan menjadi kekuatan ekonomi baru, dengan disokong oleh India, Tiongkok, dan negara-negara ASEAN. Sedangkan secara internal, kekuatan ekonomi ASEAN sampai tahun 2013 telah menghasilkan GDP sebesar US$ 3,36 triliun dengan laju pertumbuhan sebesar 5,6 persen dan memiliki dukungan jumlah penduduk 617,68 juta orang.
      Asean Economi Community atau (MEA) akan segera dihadapi Indonesia. Konsekuensi dari kesepakatan tersebut membuka lebar pasar ekonomi di kawasan regional Asean karenanya, jika ingin terlibat dan diperhitungkan, Indonesia harus berbenah. Semua sector industry harus dilengkapi kemampuan untuk bisa bersaing dengan negara ASEAN lainya. Tujuan yang ingin dicapai melalui MEA adalah adanya aliran bebas barang, jasa, dan tenaga kerja terlatih, serta aliran investasi yang lebih bebas. Dalam penerapanya pada 2015, MEA akan menerapkan 12 sektor prioritas yang disebut free flow of skilled labor (arus bebas tenaga kerja terampil).

Peluang perbankan Indonesia untuk bersaing di pasar bebas Asean
      Peluang perbankan Indonesia di pasar bebas asean sebenarnya cukup besar. Paling tidak bagi Indonesia ada beberapa faktor yang mendukung seperti peringkat Indonesia yang berada pada rangking 16 dunia dalam besaran skala ekonomi dengan 108 juta penduduk. Dimana, jumlah penduduk ini merupakan kelompok menengah yang sedang tumbuh. Sehingga berpotensi sebagai pembeli barang-barang impor (sekitar 43 juta penduduk).
      Kemudian perbaikan peringkat investasi Indonesia oleh lembaga pemeringkat dunia, dan masuknya Indonesia sebagai peringkat ke 4 prospective destination berdasarkan UNCTAD world investement report. Dan, pemerintah sendiri telah menerbitkan aturan (keputusan Presiden) No.37/2014 yang memuat banyak indicator yang harus dicapai dalam upaya untuk meningkatkan daya saing nasional dan kesiapan menghadapi MEA yang akan dimulai 2015 itu. Awal September lalu telah diterbitkan juga inpres No.6/2014, tentang peningkatan daya saing menghadapi Masyarakat Ekonomi Asean, pemerintah Indonesia sudah menyiapkan pengembangan sector industry, agar bisa bersaing di pasar bebas ASEAN itu. Sebut saja upaya pengembangan industry perbankan yang masuk dalam 10 pengembangan industry yang harus diantar kegerbang pasar bebas dengan semua keunggulanya.
      Menjelang beberapa bulan penerapan MEA, semua sektor memang harus dihadapi, siap tidak siap industri perbankan di Indonesia tak hanya harus menjadi tuan rumah di negara sendiri, tapi juga memperlebar ekspansinya kenegara ASEAN lainya. Dan para pengambil kebijakan sudah sewajarnya mendorong kalangan perbankan nasional untuk menyiapkan SDM, memperkuat modal didalam rangka penerapan Basel III dan membangun sistem teknologi yang yang terintegratif.

Kesiapan sektor perbankan Indonesia di pasar bebas ASEAN
      Sektor perbankan Indonesia harus siap untuk itu. Karenanya, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) perlu merancang  peta jalan atau roadmap perbankan Indonesia. Adapun pembuatan roadmap tersebut secara terperinci dapat berupa arah yang lebih jelas dalam hal konsolidasi perbankan dalam negeri, guna memperbesar size suatu bank, baik secara alami maupun secara market driven. Perbankan nasional, khususnya bank BUMN juga harus berperan aktif mengantisipasi pemberlakuan MEA 2015. Era bebas pasar ini, dipastikan akan membuka alur lalu lintas barang dan jasa serta pasar semakin lebar. Karenanya, pertumbuhan ekonomi regional harus terintegrasi dengan ekonomi global. Dengan demikian, perbankan nasional memerlukan kesamaan pandang dalam melihat pertumbuhan ekonomi regional. Dengan kesamaan pandang regional itu, diharapkan perbankan Indonesia akan dapat menyelesaikan planning (rencana), strategi, sasaran yang tepat bagi kemajuan ekonomi Indonesia.
      Jika ingin terlibat aktif dan tidak terlindas dalam era bebas pasar ASEAN, peran institusi seperti Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) juga penting guna meningkatkan Good corporate government (GCG) pada industri perbankan di Indonesia. Selain itu perbankan nasional juga perlu mengajak stake holder, seperti perhimpunan bank-bank nasional (PERBANAS) dan institute bangkir Indonesia (IBI) untuk menstimulasi semakin baiknya GCG bank untuk menghadapi pasar bebas ekonomi ASEAN.
      Bagaimanapun beratnya tantangan industri perbankan regional, upaya mendorong efisiensi sektor perbankan yang berdaya saing tinggi harus terus dilakukan. Hingga kini perbankan di Indonesia masih dinilai boros di biaya operasional. Audit terhadap tingkat efisiensi bank terutama bank BUMN yang memimpin pasar di Industri keuangan nasional ini, juga menjadi indikator keberhasilan perbankan dalam mengelola rasio beban operasional terhadap pendapatan operasional (BOPO) nya. Semakin rendah maka kekuatan daya saingnya akan semakin tinggi. Sebaliknya, semakin tinggi efektivitas perbankan, semakin kuat juga perbankan nasional untuk menciptakan lingkungan bisnis yang sehat, sehingga akan menambah kuat kemampuan diri dalam menyongsong era pasar bebas ASEAN. Kompetisi bisnis perbankan sangat ketat. Tidak hanya di industry domestic, industry perbankan regional dan global jauh lebih menantang. Perbankan di regional ASEAN memiliki tingkat kesehatan yang sangat tinggi.
      Semakin ketatnya persaingan antara bank asing dengan bank lokal sebenarnya mulai terasa dalam beberapa tahun terakhir. Seiring dengan derasnya aliran masuk investor asing ke bank-bank nasional. Bank-bank asing mengakuisisi saham bank nasional karena mereka ingin menjalankan bisnis perbankan di Indonesia, mengingat pangsa pasar yang masih luas dan margin yang besar.
      Saat ini pangsa pasar bank-bank BUMN semakin tergerus, meski era persaingan bebas dengan bank-bank asing besar dari negara-negara ASEAN baru akan berlaku 5 tahun lagi. Data statistik Perbankan Indonesia menunjukkan, selama periode Desember 2010 hingga September 2014, penguasaan pangsa pasar aset bank-bank asing dan campuran terhadap total aset perbankan nasional semakin membesar, yakni dari 12,37 persen menjadi 12,88 persen. Sedangkan pada saat yang sama, penguasaan pangsa pasar aset bank-bank BUMN semakin tergerus, yakni dari 37,07 persen menjadi tinggal 34,29 persen terhadap total aset industri perbankan. Chief Research and Strategy Network of Market Investor (NMI) Reagy Sukmana mengatakan sudah saatnya pemerintah melakukan aksi nyata dan tidak sekedar bermain wacana lagi mengingat persaingan liberisasi perbankan tahun 2020 sudah didepan mata.

Peran Strategis yang Terabaikan
      Terkait peran strategis di ASEAN, Indonesia diharuskan memiliki bank besar dengan modal kuat. Hal ini mengingat Indonesia mencakup lebih dari 40 persen luas wilayah ASEAN, dengan populasi mencapai 39 persen dari total populasi ASEAN. Dari tingkat output perekonomian, Indonesia juga mempunyai peran signifikan dengan menyumbang sedikitnya 35% Product Domestic Bruto (PDB) kawasan. Bisa dikatakan Indonesia adalah ASEAN, dan ASEAN adalah Indonesia.
      Belum adanya perbankan nasional yang pantas menjadi QAB sangatlah mengkhawatirkan. Bank Mandiri misalnya. Sebagai bank terbesar, bank tersebut “hanya” punya sokongan pemodalan Rp 92 triliun atau 8 miliar dollar AS (unaudited) pada akhir tahun 2014. Bandingkan dengan kolega ASEAN seperti DBS, UOB, OCBO (Singapura), dan Maybank (Malaysia) yang punya total kepemilikan aset lebih dari 20 miliar dollar AS. Dengan nilai modal tersebut, Bank Mandiri harus puas menduduki peringkat tujuh diantara bank-bank negara ASEAN lainnya. Belum lagi terkait persyaratan rasio kecukupan modal (CAR) Bank Mandiri yang kini 16 persen, sedangkan untuk memenuhi kategori QAB minimal 17,5 persen pada 2019. Padahal menurut Rini Soemarno, Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Bank Mandiri merupakan bank pelat merah yang paling siap untuk menjadi calon QAB, baik dari jumlah modal, prospek, maupun fokus usaha. Namun, modal yang ada saat ini, sebesar Rp 92 triliun, jelas dirasa belum cukup. Itu dari sisi aset dan persyaratan pemodalan. Lain halnya dengan tingkat penetrasi pasar.
      Kondisi sekarang masih jauh dari ideal. Berdasarkan zonasi yang dibuat oleh Bank Indonesia, tingkat penetrasi Bank Mandiri (dan seluruh bank nasional lainnya) hanya berkutat di zona 1 hingga 5. Zona 6 yang terdiri atas Nusa Tenggara Timur (NTT), Nusa Tenggara Barat (NTB), Sulawesi Tengah (Sulteng), Gorontalo, Sulawesi Barat (Sulbar), Maluku, Maluku Utara, Papua, dan Papua Barat rupanya masih menjadi anak tiri dan kurang digarap secara maksimal.
      Dibandingkan dengan penetrasi yang dilakukan DBS, UOB, ataupun OCBC yang telah merambah hingga punya ratusan cabang diseluruh kawasan Asia Tenggara. Saat ini, hanya beberapa bank lokal yang memiliki kesempatan membuka cabang di luar negeri. BNI memiliki lima kantor cabang di luar negeri, yakni di London, New York, Tokyo, Singapura, dan Hongkong. Sebanyak satu sub cabang di Osaka, cabang berkegiatan terbatas di Singapura, dan remittance representative yang tersebar di Malaysia, Saudi Arabia, Qatar, Uni Emirat Arab, dan Amerika Serikat.



Sumber:



Nama        : Wiwi Kusmiarti
NPM         : 27211460
Kelas         : 4EB09
Akuntansi Internasional