REVIEW 2 :
PERSEKONGKOLAN SEBAGAI KEJAHATAN BISNIS DIHUBUNGKAN DENGAN
UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1999 TENTANG LARANGAN PRAKTEK MONOPOLI DAN
PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT (ANALISIS KASUS PENJUALAN SAHAM PT INDOMOBIL
SUKSES INTERNASIONAL Tbk)
Oleh :
Helza Nova Lita, SH, MH
Berisi :
PEMBAHASAN
1.
Dasar Hukum Pembangunan Larangan
Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat di Indonesia
Indonesia
adalah Negara yang berdasar atas hukum. Negara hukum adalah Negara yang yang
berlandaskan atas hokum dan yang menjamin keadilan bagi warganya. Maksudnya
adalah segala kewenangan dan tindakan alat-alat perlengkapan Negara atau
penguasa, semata-mata berdasarkan hukum atau dengan kata lain diatur oleh
hukum. Hal yang demikian akan mencerminkan keadilan bagi pergaulan hidup
warganya.
Hukum
bertujuan untuk menjamin adanya kepastian hukum dalam masyarakat dan hokum itu
harus pula bersendikan pada keadilan, yaitu asas-asas keadilan dari masyarakat
itu.
Didalam
pasal 33 UUD 1945 Bab XIV tentang Perekonomian Nasional dan Kesejahteraan
Sosial ditegaskan antara lain:
a.
Perekonomian disusun sebagai usaha
bersama berdasarkan atas azas kekeluargaan.
b.
Cabang-cabang produksi yang penting
bagi Negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh Negara.
c.
Bumi, air, dan kekayaan alam yang
terkandung didalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk
sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
d.
Perekonomian nasional diselenggarakan
berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip keadilan, kebersamaan,
efisiensi, berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian,
serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional.
Ekonomi Pasar Sosial berdasarkan Pasal 33 bertujuan :
a.
Mengembangkan mekanisme ekonomi pasar
terkendali yang diabdikan bagi kesejahteraan masyarakat.
b.
Mendorong inisiatif swasta dalam
kegiatan ekonomi dengan tetap memelihara keseimbangan kepentingan swasta dan
kepentingan social dalam manajemen perekonomian melalui instrument pengendali
sebagai bentuk dari intervensi pemerintah untuk mempertahankan persaingan sehat
dan wajar (Gutmann, 1991 ; Stockman; 1994).
Kejahatan
bisnis yang dilakukan oleh para pelaku usaha yang merugikan para pelaku usaha
yang lain, dapat menimbulkan konflik yang tidak kondusif bagi pembangunan
ekonomi Negara. Penerapan aturan hukum
tegas merupakan salah satu upaya untuk mencegah bentuk-bentuk kejahatan
bisnis tersebut.
Lahirnya
UU Anti Monopoli merupakan salah satu upaya yang dilakukan pemerintah RI untuk
menciptakan iklim ekonomi yang sehat dan mencegah persaingan usaha yang tidak
sehat yang dapat mematikan potensi kemajuan ekonomi bangsa. Tujuan dari
undang-undang antimonopoly adalah untuk menciptakan efisiensi pada ekonomi
pasar dengan mencegah monopoli, mengatur persaingan yang sehat dan bebas, dan
memberikan sanksi terhadap kartel atau persekongkolan bisnis. Bagaimanapun juga
ide tersebut telah lahir dari hak inisiatif DPR untuk memiliki UU Antimonopoli
bagi Indonesia sejak bertahun-tahun. Berkembangnya perhatian rakyat Indonesia
untuk memiliki undang-undang antimonopoly disebabkan oleh kenyataan bahwa
perusahaan-perusahaan besar yang disebut konglomerat di Indonesia telah
mencaplok pangsa pasar terbesar ekonomi nasional Indonesia dan dengan cara demikian
mereka dapat mengatur barang-barang dan jasa, dan menetapkan harga-harga demi
keuntungan mereka.
2.
Bentuk-Bentuk Larangan Usaha menurut UU
Antimonopoli
Dalam
undang-undang nomor 5 tahun 1999, Monopoli didefinisikan sebagai suatu bentuk
penguasaan atas produksi dan atau pemasaran barang dan atau penggunaan jasa
tertentu oleh satu pelaku atau satu kelompok usaha. Dalam Black’s Law
Dictionary, Monopoli diartikan sebagai:
“a privilege or peculiar advantage vested in
one or more persons or companies, consisting in the exclusive right (or power)
to carry on a particular article, or control the sale of whole supply of a
particular commodity.”
Dalam
UU Antimonopoli, monopoli didefinisikan sebagai suatu bentuk penguasaan atas
produksi dan atau pemasaran barang dan atau penggunaan jasa tertentu oleh satu
pelaku atau satu kelompok usaha.
Selain dari definisi monopoli dalam
undang-undang juga diberikan pengertian praktek dari monopoli, yaitu:
“Pemusatan
kekuatan ekonomi oleh sau atau lebih pelaku usaha yang mengkibatkan dikuasainya
produksi dan atau pemasaran barang dan atau jasa tertentu sehingga menimbulkan
persaingan usaha tidak sehat dan dapat merugikan kepentingan umum.”
Dari definisi yan diberikan diatas
diketahui unsur-unsur praktek monopoli yaitu:
a.
Adanya pemusatan kekuatan ekonomi;
b.
Pemusatan kekuatan tersebut berada pada
satu atau lebih pelaku usaha ekonomi;
c.
Pemusatan kekuatan ekonomi tersebut
menimbulkan persaingan usaha tidak sehat; dan
d.
Pemusatan kekuatan ekonomi tersebut
merugikan kepentingan umum.
Selanjutnya yang dimaksud dengan pemusatan kekuatan ekonomi
adalah : “penguasan yang nyata atas suatu pasar bersangkutan atas satu atau
lebih pelaku usaha sehingga dapat menentukan harga barang dan jasa” dan
“persaingan usaha tidak sehat adalah persaingan antar para pelaku usaha dalam
menjalankan keiatan produksi dan atau pemasaran barang dan atau jasa yang
dilakukan dengan cara tidak jujur atau melawan hukum atau menghambat persaingan
usaha.”
Dibawah
ini bentuk-bentuk yang dilarang dalam praktek monopoli berdasarkan UU
Antimonopoli meliputi:
a.
Monopoli; dalam pasal 17 Ayat (1)
disebutkan bahwa pelaku usaha dilarang melakukan penguasaan atas produksi dan
atau pemasaran barang dan atau jasa yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek
monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat.
b.
Monopsoni; dalam pasal 18 Ayat (1)
disebutkan bahwa pelaku usaha dilarang menguasai penerimaan pasokan atau
menjadi pembeli tunggal atas barang dan atau jasa dalam pasar bersangkutan yang
dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha yang
tidak sehat.
c.
Penguasaan pasar; dalam pasal 19
disebutkan bahwa pelaku usaha dilarang melakukan satu atau beberapa kegiatan,
baik sendiri maupun bersama pelaku usaha lain, yang dapat mengakibatkan
terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat berupa:
1. Menolak
dan atau menghalangi pelaku usaha tertentu untuk melakukan kegiatan usaha yang
sama pada pasar bersangkutan; atau
2. Menghalangi
konsumen atau pelanggan pelaku usaha pesaingnya untuk tidak melakukan usaha dengan
pelaku usaha pesaingnya itu; atau
3. Membatasi
peredaran dan atau penjualan barang dan atau jasa pada pasar bersangkutan; atau
4. Melakukan
praktek diskriminasi terhadap pelaku usaha tertentu.
d.
Predatory Pricing; dalam pasal 20
disebutkan bahwa pelaku usaha dilarang melakukan pemasokan barang atau jasa
dengan cara melakukan jual rugi atau menetapkan harga yang sangat rendah dengan
maksud untuk menyingkirkan atau mematikan usaha pesaingnya di pasar
bersangkutan sehingga dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli atau
persaingan usaha tidak sehat.
e.
Penetapan Biaya; dalam pasal 21
disebutkan bahwa pelaku usaha dilarang melakukan kecurangan dalam menetapkan
biaya produksi dan biaya lainnya yang menjadi bagian dari komponen harga barang
dan atau jasa yang dapat mengakibatkan terjadinya persaingan usaha yang tidak
sehat.
f.
Persekongkolan (Conspiracy to arrange);
dalam pasal 22 disebutkan bahwa pelaku usaha dilarang bersekongkol dengan pihak
lain untuk mengatur atau menentukan pemenang tender sehinga dapat mengakibatkan
terjadinya persaingan usaha yang tidak sehat.
g.
Perolehan rahasia perusahaan; dalam
pasal 23 disebutkan bahwa pelaku usaha dilarang bersekongkol dengan pihak lain
mendapatkan informasi kegiatan usaha pesaingnya ang diklasifikasikan sebagi
rahasia perusahaan sehingga mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak
sehat.
h.
Penghambatan Produksi dan pemasaran
pesaing; dalam pasal 24 disebutkan bahwa pelaku usaha dilarang bersekongkol
dengan pihak lain untuk menghambat produksi atau pemasaran barang dan jasa
pelaku usaha pesaingnya dengan maksud agar barang atau jasa yang ditawarkan
atau dipasok d pasar bersangkutan menjadi berkurang baik dari kualitas, maupun
ketepatan waktu yang dipersyaratkan.
Selain kegiatan usaha yang dilarang diatas, dalam UU
Antimonopoli juga mengatur mengenai perjanjian yang dilarang yang meliputi:
a.
Oligopoli
b.
Penetapan harga
c.
Diskriminasi harga
d.
Predatory Pricing
e.
Resale Price Maintenance
f.
Pembagian wilayah
g.
Pemboikotan
h.
Kartel
i.
Trust
j.
Oligopsoni
k.
Integrasi vertical
l.
Perjanjian tertutup dan Tying
m.
Perjanjian dengan pihak luar negeri
yang menyebabkan terjadinya praktek monopoli dan persaingan usaha yang tidak
sehat.
Persekongkolan merupakan salah satu bentuk larangan dalam
praktek bisnis yang diatur dalam UU Antimonopoli Persekongkolan atau konspirasi
dalam pasal 1 Angka 8 UU Antimonopoli adalah bentuk kerjasama yang dilakukan
oleh pelaku usaha dengan pelaku usaha lain dengan maksud untuk menguasai pasar
bersangkutan bagi kepentingan pelaku usaha yang bersekongkol.
Dalam prakteknya
tidak dapat dipungkiri masih banyaknya pelanggaran ang berkitan dengan
persaingan usaha yang tidak sehat. Seperti kasus persekongkolan untuk
memenangkan proyek tender yang melibatkan baik perusahaan BUMN maupun swasta.
Salah satu contoh kasus persekongkolan yang dilaporkan kepada Komisi Pengawas
Persaingan Usaha (KPPU) adalah kasus persekongkolan terhadap tender penjualan
saham dan obligasi konversi PT Indomobil Sukses Internasional Tbk yang
merugikan Negara dan peserta tender yang lain. Sehingga dengan demikian dapat
dikategorikan sebaga perbuatan kejahatan bisnis. Persekongkolan tersebut juga
disinyalir bekerja sama dengan BPPN, untuk itu KPPU merekomendasikan kepada
Menteri Keuanga dan Kejaksaan Agung untuk memeriksa BPPN. KPPU juga memutuskan
PT Cipta Sarana Duta Perkasa (CSDP) sebagai pemenang tender harus membayar
ganti rugi sebesar Rp 228 milyar dan denda Rp 5 milyar. Selain itu, PT CSDP
dilarang memgikuti segala transaksiyang terkait dengan BPPN selama 2 tahun.
Dari pemeriksaan terhadap 170 surat dan dokumen, serta saksi-saksi, ditemukan
adanya penyesuaian dokumen tender oleh 2 dari 3 peserta tender, yaitu PT Alfa
Sekuritas dan PT CSDP untuk memenangkan CSDP. Dokumen tender yang mirip
tersebut adalah cover letter dan usulan mark up CSPLTA.
UU Antimonopoli
mengatur pula larangan penyalahgunaan posisi dominan, jabatan rangkap,
konsentrasi pemilikan saham, serta larangan penggabungan, peleburan, dan
pengambilalihan badan usaha yang mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan
persaingan usaha tidak sehat.
Berkaitan dengan
jabatan rangkap yang dilarang dalam UU Antimonopoli, bahwa seseorang yang
menduduki jabatan sebagai direksi atau komisaris dari suatu perusahaan, pada
waktu yang bersamaan dilarang merangkap menjadi direksi atau komisaris pada
perusahaan lain, perusahaan-perusahaan tersebut:
a.
Berada dalam pasar bersangkutan yang
sama;
b.
Memiliki keterkaitan yang erat dalam
bidang da atau jenis usaha; atau
c.
Secara bersama-sama dapat menguasai
pasar barang dan atau jasa tertentu, yang dapat mengakibatkan terjadinya
praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat.
Prof. Dr. C.F.G. Sunaryati Hartono, S.H., dalam bukunya yang
berjudul “Politik hukum menuju atu system hukum nasional”, berkaitan dengan
praktek bisnis yang tidak sehat, menjelaskan bahwa bukan hanya praktek-praktek
persaingan usaha saja yang perlu dilarang, akan tetapi termasuk klausula dalam
kontrak yang secara nyata menyebabkan timbulnya keuntungan yang tidak wajar
atau tidak sebanding dengan besarnya pada satu pihak, sementara pihak yang lain
pada saat yang sama semakin terdesak kedudukan ekonominya. Selanjutnya beliau
menjelaskan kontrak-kontrak atau praktek-praktek bisnis yang dapat
dikualifikasikan contracts in restraint of trade:
a.
Price Fixing Contracts: adalah kontrak
tentang penetapan harga yang dilakukan oleh para pengusaha yang bersaing yang
berisi penetapan harga jual suatu barang atau produk. Tujuan dari kontrak ini
adalah untu menghilangkan salah satu bentuk persaingan usaha.
b.
Division Of Markets: adalah suatu
persetujuan diantara para pengusaha untuk membagi wilayah pemasaran menjadi
bagian mereka masing-masing, lengkap dengan hak-hak istimewa atau eksklusif
untuk pemasaran produk mereka.
c.
Tying in atau Tie in Contracts: adalah
suatu kontrak dagang yang berisi ketentuan bahwa penjual akan menjual suatu barang
kepada pembeli, jika pembeli juga membeli barang dari penjual yang sama. Barang
tersebut biasanya saling dikaitkan satu dengan yang lain.
d.
Exclusive Contracts: dalam system hokum
“common law”, yang dimaksud dengan exclusive contracts adalah suatu kontrak
dalam hal manasaja satu pihak setuju untuk mengikat dirinya dengan suatu
kewajiban untuk menjual atau membeli barang untuk semua kebutuhannya hanya dari
satu orang tertentu saja.
e.
Group Boycotts: adalah persekongkolan
antara beberapa perusahaan untuk secara bersama-sama menolak menjalin hubungan
dagang dengan satu atau beberapa perusahaan tertentu, dengan maksud untuk
menghilangkan persaingan yang ditimbulkan oleh perusahaan yang bersekongkol
atau untuk membatasi kegiatan bisnis dari pihak ketiga itu.
f.
Monopolization and Intent to
Monopolize: merupakan suatu “combine or conspire to acquire or maintain power
to exclude competitors from any part of trade of commerce, provided they also
have such power that they are able, as agroup, to exclude actual or potential
competition and provided that they have intent and purpose to exercise that
power.”
g.
Merger: adalah suatu usaha peleburan
dari suatu perusahaan kedalam perusahaan lain dimana perusahaan satu perusahaan
tetap mempertahankan identitasnya semula, melakukan pengambilalihan kekayaan,
tanggung jawab, dan kuasa atas perusahaan yang meleburkan diri tersebut yang
tidak lagi menjadi satu badan usaha yang mandiri.
h.
Price discrimination: yaitu pembeli
harus membayar harga yang berbeda dibanding dengan harga yang harus dibayar
oleh pembeli lain untuk barang yang sama. Kebijakan Price Discrimination yang
dilakukan pengusaha biasanya bertujuan untuk mengalahkan saingannya sehingga
praktek ini jelas dapat mengganggu mekanisme pasar.
i.
Interlocking Directorate: yaitu apabila
dewan direksi suatu perusahaan sangat erat kaitannya dengan dewan direksi
perusahaan lain, karena misalnya anggota direksi kedua perusahaan tersebut
terdiri dari orang-orang yang sama.
j.
Unfair Labor Practices: yaitu tindakan
yang tidak layak yang dilakukan oleh perusahaan terhadap tenaga kerja yang
mereka gunakan, misalnya tindakan diskriminasi, ancaman dan tekanan, larangan
pembentukan serikat buruh, dsb
Dalam pasal 50 UU Antimonopoli memuat kegiatan yang
dikecualikan sbb:
a.
Perbuatan dan atau perjanjian yang
bertujuan melaksanakan peraturan perundang-undangan yang berlaku; atau
b.
Perjanjian yang berkaitan dengan hak
atas kekayaan intelektual seperti lisensi, paten, merk dagang, hak cipta,
desain produk industry, rangkaian-rangkaian elektronik terpadu, dan rahasia
dagang serta perjanjian yang berkaitan dengan waralaba; atau
c.
Perjanjian penetapan standar teknis
produk barang atau jasa tidak mengekang, dan atau menghalangi persaingan; atau
d.
Perjanjian dalam rangka keagenan yang
isinya tidak memuat ketentuan untuk memasok kembali barang dan atau jasa dengan
harga yang lebih rendah daripada harga yang telah diperjanjikan; atau
e.
Perjanjian kerjasama penelitian untuk
peningkatan atau oerbaikan standar hidup masyarakat luas; atau
f.
Perjanjian internasional yang telah
diratifikasi oleh pemerintah Republik Indonesia; atau
g.
Perjanjian dan atau perbuatan yang
bertujuan untuk ekspor yang tidak mengganggu kebutuhan dan atau pasokan pasar
dalam negeri; atau
h.
Pelaku usaha yang tergolong dalam usaha
kecil; atau
i.
Kegiatan usaha koperasi yang khusus
bertujuan untuk melayani kebutuhan anggotanya.
Prinsip
moral seperti kebenaran, kebaikan, dan keadilan yang menjadi panutan individu
sebagai anggota masyarakat, adalah sumber dari sikap tindak. Seperti hukum,
etika menjadi standar tingkah laku individu, namun etika tidak ditegakkan dan
dipaksakan oleh kekuasaan luar seperti pemerintah atau Negara. Standar etika
berasal dari standar moral dari dalam individu dan ditegakkan oleh individu
yang bersangkutan.
Kalangan
bisnis harus tetap mempertimbangkan disamping aspek hokum juga tanggung jawab
moral dari kegiatan mereka. Namun demikian walaupun dunia bisnis mengakui
kewajiban untuk berperilaku etis, terkadang menemui kesulitan dalam prosedur
penerapan kewajiban tersebut. Salah satu kesulitannya adalah dari kenyataan
yang semakin berkembang bahwamasalah moral muncul dari segala aspek kegiatan
bisnis. Semua keputusan bisnis yang menimbulkan ketidakpastian dan konsekuensi
yang berkepanjangan yang mempengaruhi orang banyak, organisasi, dan bahkan kegiatan
pemerintah, dapat menimbulkan masalah etika yang serius.
Sanksi
yang diberikan terhadap pelanggaran pelaksanaan ketentuan UU Antimonopoli
secara garis besar meliputi:
a.
Sanksi administrasi (Pasal 47 Ayat (2))
b.
Sanksi pidana pokok (Pasal 48); dan
c.
Sanksi pidana tambahan (Pasal 49)
Sanksi administrasi dalam pasal 47 Aayat (2) antara lain
dapat berupa pembatalan perjanjian, perintah kepada pelaku usaha untuk
menghentikan integrasi vertical, menghentikan kegiatan usaha, pembayaran ganti
rugi dan denda sebesar-besarnya Rp 25.000.000.000,00 (dua puluh lima miliar
rupiah) dan serendah-rendahnya Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
Sementara itu untuk sanksi pidana
pokok meliputi pidana denda dan atau pengganti denda pidana kurungan. Sementara
itu sanksi pidana tambahan dapat meliputi:
a.
Pencabutan ijin usaha
b.
Larangan kepada pelaku usaha yang telah
terbukti melakukan pelanggaran terhadap UU ini untuk menduduki jabatan direksi
atau komisaris sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun dan selama-lamanya 5 (lima)
tahun; atau
c.
Penghentian kegiatan atau tindakan
tertentu yang menyebabkan timbulnya kerugian pada pihak lain.
Nama : Wiwi Kusmiarti
NPM : 27211460
Kelas : 2EB09
Tahun : 2012