STRUKTUR PRODUKSI, DISTRIBUSI
PENDAPATAN DAN KEMISKINAN
1. Struktur Produksi
Struktur produksi adalah logika proses produksi, yang
menyatakan hubungan antara beberapa
pekerjaan pembuatan komponen sampai menjadi produk akhir, yang biasanya ditunjukkan dengan
menggunakan skema.
Sejalan dengan perkembangan pembangunan ekonomi struktur produksi suatu perekonomian
cenderung mengalami perubahan dari dominasi sektor primer menuju dominasi
sektor sekunder dan tersier. Perubahan struktur produksi dapat terjadi
karena :
1.
Sifat
manusia dalam perilaku konsumsinya yang cenderung berubah dari konsumsi barang
barang pertanian menuju konsumsi lebih banyak barang-barang industri
2.
Perubahan teknologi yang terus-menerus,
dan
3.
Semakin
meningkatnya keuntungan komparatif dalam memproduksi barang-barang industri.
Struktur produksi nasional pada awal
tahun pembangunan jangka panjang ditandai oleh peranan sektor primer, tersier,
dan industri. Sejalan dengan semakin meningkatnya proses pembangunan ekonomi
maka pada akhir Pelita V atau kedua, struktur produksi nasional telah bergeser
dari dominasi sektor primer menuju sektor sekunder.
2. Pendapatan Nasional
Pendapatan nasional
adalah jumlah pendapatan yang diterima oleh seluruh rumah tangga keluarga (RTK)
di suatu negara dari penyerahan faktor-faktor produksi dalam satu
periode,biasanya selama satu tahun.
Konsep pendapatan
nasional:
1. Produk Domestik
Bruto (GDP)
Produk domestik
bruto (Gross Domestic Product) merupakan jumlah produk berupa barang dan
jasa yang dihasilkan oleh unit-unit produksi di dalam batas wilayah suatu
negara (domestik) selama satu tahun. Dalam perhitungan GDP ini, termasuk juga
hasil produksi barang dan jasa yang dihasilkan oleh perusahaan/orang asing yang
beroperasi di wilayah negara yang bersangkutan. Barang-barang yang dihasilkan
termasuk barang modal yang belum diperhitungkan penyusutannya, karenanya jumlah
yang didapatkan dari GDP dianggap bersifat bruto/kotor.
2. Produk
Nasional Bruto (GNP)
Produk Nasional
Bruto (Gross National Product) atau PNB meliputi nilai produk berupa
barang dan jasa yang dihasilkan oleh penduduk suatu negara (nasional) selama
satu tahun.
3. Pendapatan
Nasional Neto (NNI)
Pendapatan
Nasional Neto (Net National Income) adalah pendapatan yang dihitung
menurut jumlah balas jasa yang diterima oleh masyarakat sebagai pemilik faktor produksi. Besarnya NNI dapat
diperoleh dari NNP dikurang pajak
tidak langsung. Yang dimaksud
pajak tidak langsung adalah pajak yang bebannya dapat dialihkan kepada pihak
lain seperti pajak penjualan.
4. Pendapatan
Perseorangan (PI)
Pendapatan
perseorangan (Personal Income) adalah jumlah pendapatan yang diterima
oleh setiap orang dalam masyarakat, termasuk pendapatan yang diperoleh tanpa
melakukan kegiatan apapun.
5. Pendapatan
yang siap dibelanjakan (DI)
Pendapatan yang
siap dibelanjakan (Disposable Income) adalah pendapatan yang siap untuk
dimanfaatkan guna membeli barang dan jasa konsumsi dan selebihnya menjadi
tabungan yang disalurkan menjadi investasi.
Pendapatan negara
dapat dihitung dengan tiga pendekatan, yaitu:
1.
Pendekatan pendapatan, dengan cara menjumlahkan seluruh pendapatan (upah,
sewa, bunga, dan laba) yang diterima rumah tangga konsumsi dalam suatu negara
selama satu periode tertentu sebagai imbalan atas faktor-faktor produksi yang
diberikan kepada perusahaan.
2.
Pendekatan produksi, dengan cara menjumlahkan nilai seluruh produk yang
dihasilkan suatu negara dari bidang industri, agraris, ekstraktif, jasa, dan niaga selama satu periode tertentu. Nilai produk yang dihitung dengan pendekatan
ini adalah nilai jasa dan barang jadi (bukan bahan mentah atau
barang setengah jadi).
3.
Pendekatan pengeluaran, dengan cara menghitung jumlah seluruh pengeluaran
untuk membeli barang dan jasa yang diproduksi dalam suatu negara selama satu
periode tertentu. Perhitungan dengan pendekatan ini dilakukan dengan menghitung
pengeluaran yang dilakukan oleh empat pelaku kegiatan ekonomi negara, yaitu:
Rumah tangga (Consumption), pemerintah (Government), pengeluaran
investasi (Investment), dan selisih antara nilai ekspor dikurangi impor
(
).
3.
Distribusi Pendapatan
Nasional dan Kemiskinan
Dalam distribusi pendapatan baik antar kelompok
berpendapatan, antar daerah perkotaan dan daerah pedesaan, atau antar kawasan
dan propinsi dan kemiskinan merupakan dua masalah yang masih mewarnai
perekonomian Indonesia.
Pada awal pemerintahan orde baru, perencanaan pembangunan ekonomi di Indonesia masih sangat percaya bahwa apa yang dimaksud dengan trickle down effect akan terjadi. Oleh karena itu, strategi pembangunan diterapkan oleh pemerintah pada awal periode orde baru hingga akhir tahun 1970-an terpusatkan pada pertumbuhan ekonomi yang tinggi.
Faktor-faktor yang menyebabkan kesenjangan dan kemiskinan tetap ada ditanah air walaupun pembangunan ekonomi berjalan terus dan Indonesia memiliki laju pertumbuhan yang relatif tinggi.
Pada awal pemerintahan orde baru, perencanaan pembangunan ekonomi di Indonesia masih sangat percaya bahwa apa yang dimaksud dengan trickle down effect akan terjadi. Oleh karena itu, strategi pembangunan diterapkan oleh pemerintah pada awal periode orde baru hingga akhir tahun 1970-an terpusatkan pada pertumbuhan ekonomi yang tinggi.
Faktor-faktor yang menyebabkan kesenjangan dan kemiskinan tetap ada ditanah air walaupun pembangunan ekonomi berjalan terus dan Indonesia memiliki laju pertumbuhan yang relatif tinggi.
Beberapa
indikator distribusi pendapatan :
Sudah merupakan suatu fakta umum dibanyak negara berkembang, terutama negara-negara proses pembangunan ekonomi yang sangat pesat seperti indonesia, laju pertumbuhan ekonomi yang tinggi dibarengi dengan tingkat kesenjangan ekonomi atau kemiskinan yang tinggi pula.
Sebagai dasar dari kerangka pemikiran untuk menganalisis masalah trade-off antara pertumbuhan dan kemiskinan atau kesenjangan ekonomi adalah salah satu metode statis yang umum digunakan untuk mengestimasi sejauh mana pencapaian tingkat kemerataan dalam distribusi pendapatan atau pengurangan kesenjangan ekonomi dalam suatu proses pembangunan ekonomi. Pengukuran pemerataan pendapatan juga sering dilakukan berdasarkan kriteria bank dunia : penduduk dikelompokkan menjadi tiga kelompok: yaitu penduduk dengan pendapatan rendah yang merupakan 40% dari jumlah penduduk, penduduk dengan berpendapatan menengah yang merupakan 40% dari jumlah penduduk, dan penduduk yang berpendapatan tinggi yang merupakan 20% dari jumlah penduduk. Selanjutnya ketidakmerataan pendapatan disuatu ekonomi diukur berdasarkan pendapatan yang dinikmati oleh 40% penduduk dengan pendapatan rendah.
Sudah merupakan suatu fakta umum dibanyak negara berkembang, terutama negara-negara proses pembangunan ekonomi yang sangat pesat seperti indonesia, laju pertumbuhan ekonomi yang tinggi dibarengi dengan tingkat kesenjangan ekonomi atau kemiskinan yang tinggi pula.
Sebagai dasar dari kerangka pemikiran untuk menganalisis masalah trade-off antara pertumbuhan dan kemiskinan atau kesenjangan ekonomi adalah salah satu metode statis yang umum digunakan untuk mengestimasi sejauh mana pencapaian tingkat kemerataan dalam distribusi pendapatan atau pengurangan kesenjangan ekonomi dalam suatu proses pembangunan ekonomi. Pengukuran pemerataan pendapatan juga sering dilakukan berdasarkan kriteria bank dunia : penduduk dikelompokkan menjadi tiga kelompok: yaitu penduduk dengan pendapatan rendah yang merupakan 40% dari jumlah penduduk, penduduk dengan berpendapatan menengah yang merupakan 40% dari jumlah penduduk, dan penduduk yang berpendapatan tinggi yang merupakan 20% dari jumlah penduduk. Selanjutnya ketidakmerataan pendapatan disuatu ekonomi diukur berdasarkan pendapatan yang dinikmati oleh 40% penduduk dengan pendapatan rendah.
Perubahan
distribusi pendapatan
Perhitungan distribusi pendapatan di Indonesia menggunakan
data survei sosial ekonomi nasional (susenas) pada tahun 1984, 1987, 1990,
1993. data pengeluaran konsumsi rumah tangga yang dikumpulakan oleh susenas
digunakan sebagai pendekatan (proxy) untuk mengukur distribusi pendapatan
penduduk di Indonesia. Karena pengertian pengeluaran konsumsi tidak sama dengan
pengertian kekayaan, perbedaan konsep ini menjadi kendala serius dalam mengukur
secara akurat tingkat dan distribusi kesejahteraan masyarakat Indonesia.
Penggunaan data pengeluaran konsumsi rumah tangga akan menghasilkan data pendapatan yang underestimate karena jumlah pendapatan bisa lebih besar, sama, atau lebih kecil dari pada jumlah pengeluaran konsumsi. Misalnya pendapatan lebih besar tidak selalu berarti pengeluaran konsumsi juga besar. Dalam hal ini, berarti ada tabungan. Dalam hal ini belum tentu juga bila pendapatan rendah tidak selalu jumlah konsumsi juga rendah. Banyak rumah tangga memakai kredit untuk membiayai pengeluran konsumsi tertentu, misalnya untuk membeli rumah dan mobil untuk biaya sekolah anak, atau bahkan untuk liburan.
Keberhasilan pembangunan di Indonesia tidak hanya di ukur dari peningkatan pendapatan penduduk secara agregat atau per kapital, tetapi juga (justru lebih penting lagi) di lihat dari distribusi peningkatan pendapatan tersebut terhadap semua anggota masyarakat. Sekarang ini, tingkat pendapatan per kapital di Indonesia sudah lebih jauh lebih tinggi dibandingkan dengan 30 tahun yang lalu, yakni sekitar US$880. namun, apa artinya jika 10% saja dari jumlah penduduk di tanah air yang menikmati 90% dari jumlah pendapatan nasional, sedangkan sisanya (90%) hanya menikmati 10% dari pendapatan nasional selama ini hanya di nikmati oleh kelompok 10% tersebut, sedangkan pendapatan kelompok 90% tidak mengalami perbaikan yang berarti. Jadi dalam kata lain, pembangunan ekonomi di Indonesia akan dikatakan berhasil sepenuhnya bila tingkat kesenjangan ekonomi antara kelompok masyarakat miskin dan kelompok masyarakat kaya bisa diperkecil
Sejak akhir tahun 1970-an, pemerintah mulai memperlihatkan kesungguhan dalam upaya meningkatkan kesejahteraan penduduk ditanah air. Sejak itu aspek pemerataan dalam triologi pembangunan semakin ditekankan dan didefinisikan dalam delapan jalur pemerataan.
Penggunaan data pengeluaran konsumsi rumah tangga akan menghasilkan data pendapatan yang underestimate karena jumlah pendapatan bisa lebih besar, sama, atau lebih kecil dari pada jumlah pengeluaran konsumsi. Misalnya pendapatan lebih besar tidak selalu berarti pengeluaran konsumsi juga besar. Dalam hal ini, berarti ada tabungan. Dalam hal ini belum tentu juga bila pendapatan rendah tidak selalu jumlah konsumsi juga rendah. Banyak rumah tangga memakai kredit untuk membiayai pengeluran konsumsi tertentu, misalnya untuk membeli rumah dan mobil untuk biaya sekolah anak, atau bahkan untuk liburan.
Keberhasilan pembangunan di Indonesia tidak hanya di ukur dari peningkatan pendapatan penduduk secara agregat atau per kapital, tetapi juga (justru lebih penting lagi) di lihat dari distribusi peningkatan pendapatan tersebut terhadap semua anggota masyarakat. Sekarang ini, tingkat pendapatan per kapital di Indonesia sudah lebih jauh lebih tinggi dibandingkan dengan 30 tahun yang lalu, yakni sekitar US$880. namun, apa artinya jika 10% saja dari jumlah penduduk di tanah air yang menikmati 90% dari jumlah pendapatan nasional, sedangkan sisanya (90%) hanya menikmati 10% dari pendapatan nasional selama ini hanya di nikmati oleh kelompok 10% tersebut, sedangkan pendapatan kelompok 90% tidak mengalami perbaikan yang berarti. Jadi dalam kata lain, pembangunan ekonomi di Indonesia akan dikatakan berhasil sepenuhnya bila tingkat kesenjangan ekonomi antara kelompok masyarakat miskin dan kelompok masyarakat kaya bisa diperkecil
Sejak akhir tahun 1970-an, pemerintah mulai memperlihatkan kesungguhan dalam upaya meningkatkan kesejahteraan penduduk ditanah air. Sejak itu aspek pemerataan dalam triologi pembangunan semakin ditekankan dan didefinisikan dalam delapan jalur pemerataan.
Kemiskinan
Pengertian:
Specker (1993) mengatakan bahwa kemiskinan mencakup:
kekurangan fasilitas fisik bagi kehidupan yang normal, gangguan dan tingginya
resiko kesehatan, resiko keamanan dan kerawanan kehidupan social ekonomi dan
lingkungannya, kekurangan pendapatan yang mengakibatkan tidak bias hidup layak,
kekurangan dalam kehidupan social yang dapat ditunjukan oleh ketersisihan
social dalam proses politik dan kualitas pendidikan yang rendah.
Maxwell (2007) menggunakan istilah kemiskinan untuk
menggambarkan keterbatasan pendapatan dan konsumsi, keterbelakangan derajat dan
martabat manusia, ketersingkiran social, keadaan yang menderita karena sakit,
kurangnya kemampuan dan ketidak berfungsian fisi untuk bekerja, kerentanan,
tiadanya keberlanjutan sumber kehidupan, tidak terpenuhinya kebutuhan dasar,
dan adanya perampasan relatif.
Konferensi dunia
untuk pembangunan social telah mendefinisikan kemiskinan sebagai berikut:
kemiskinan memiliki wujud yang majemuk, termasuk rendahnya tingkat pendapatan
dan sumber daya produktif yang menjamin kehidupan berkesinambung. Kemiskinan
juga dicirikan oleh rendahnya tingkat partisipasi dalam proses pengambilan
keputusan dalam kehidupan sipil dan social budaya.
Faktor penyebab kemiskinan, faktor yang berpengaruh langsung
dan tidak langsung terhadap perubahan kemiskinan. Sebagai contoh sering
dikatakan bahwa salah satu penyebab kemiskinan adalah tingkat pendidikan yang
rendah. Seseorang dengan tingkat pendidikan hanya SD, misalnya sangat sulit
mendapatkan pekerjaan terutama dalam sektor modern , (formal) dengan pendapatan
yang baik. Berarti penyebab kemiskinan bukan hanya pendidikan yang rendah,
tetapi tingkat gaji/upah yang berbeda.
Kalau diuraikan satu persatu, jumlah faktor yang dapat dipengaruhi, langsung maupun tidak langsung, tingkat kemiskinan cukup banyak, mulai dari tingkat dan laju pertumbuhan output (atau produktifitas), tingkat upah neto, distribusi pendapatan, kesempatan kerja, jenis pekerjaan yang tersedia, inflasi, pajak dan subsidi, investasi, alokasi serta kualitas sumber daya alam, penggunaan teknologi, tingkat dan jenis pendidikan, kondisi fisik dan alam disuatu wilayah, etos kerja dan motivasi pekerja, kultur/budaya atau tradisi, hingga politik, bencana alam, dan peperangan. Kalau diamati, sebagian besar faktor tersebut juga saling mempengaruhi satu sama lain. Misalnya dari pekerja yang bersangkutan sehingga produktifitasnya menurun. Produktifitas menurun selanjutnya dapat mengakibatkan tingkat upah netonya berkurang, dan seterusnya. Jadi, dalam kasus ini, tidak mudah untuk memastikan apakah karena pajak naik atau produktifitasnya yang turun membuat pekerja tersebut menjadi miskin karena upah netonya menjadi rendah.
Kalau diuraikan satu persatu, jumlah faktor yang dapat dipengaruhi, langsung maupun tidak langsung, tingkat kemiskinan cukup banyak, mulai dari tingkat dan laju pertumbuhan output (atau produktifitas), tingkat upah neto, distribusi pendapatan, kesempatan kerja, jenis pekerjaan yang tersedia, inflasi, pajak dan subsidi, investasi, alokasi serta kualitas sumber daya alam, penggunaan teknologi, tingkat dan jenis pendidikan, kondisi fisik dan alam disuatu wilayah, etos kerja dan motivasi pekerja, kultur/budaya atau tradisi, hingga politik, bencana alam, dan peperangan. Kalau diamati, sebagian besar faktor tersebut juga saling mempengaruhi satu sama lain. Misalnya dari pekerja yang bersangkutan sehingga produktifitasnya menurun. Produktifitas menurun selanjutnya dapat mengakibatkan tingkat upah netonya berkurang, dan seterusnya. Jadi, dalam kasus ini, tidak mudah untuk memastikan apakah karena pajak naik atau produktifitasnya yang turun membuat pekerja tersebut menjadi miskin karena upah netonya menjadi rendah.
Sumber :
Tidak ada komentar:
Posting Komentar