REGIONAL
VS GLOBAL
(Industri
Keuangan Bank)
Pasar bebas ASEAN
merupakan suatu keharusan, Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) di bidang keuangan
dan perbankan akan mulai berlaku pada tahun 2020. Menghadapi Masyarakat Ekonomi
ASEAN tersebut, para pelaku industri perbankan mulai berbenah. Mereka sangat menyadari
kekuatan bank asing yang akan mereka hadapi. Dilansir dari kontan.co.id,
Direktur Utama Bank Mandiri Budi Gunadi Sadikin mengungkapkan bahwa, bank-bank
nasional Indonesia akan berhadapan dengan bank-bank negara tetangga, yang aset
dan modalnya kemungkinan besar mencapai 10 sampai dengan 20 kali lipat
dibandingkan perbankan nasional di tahun 2020 nanti. Contohnya, DBS Group
Holding. Perbankan milik Pemerintah Singapura tersebut merajai perbankan ASEAN
dengan aset sebesar US$ 318,4 miliar. Sementara dari daftar 15 besar bank
terbesar, hanya Bank Mandiri dan Bank Rakyat Indonesia (BRI) yang mewakili
pemerintah. Layaknya pertarungan di ring tinju, perbankan nasional bagaikan
kelas ringan melawan perbankan negara tetangga yang diibaratkan kelas berat.
Sehingga, pertarungan pun menjadi tidak seimbang. Untuk itu, pihaknya terus
melakukan persiapan sehingga bank nasional mempunyai bobot yang berimbang
dengan bank asing.
Berlakunya kesepakatan
Masyarakat Ekonomi ASEAN tinggal sebentar lagi. Sayangnya, hingga saat ini
kesiapan pelaku bisnis Indonesia, khususnya di sektor perbankan belum optimal.
Hingga mendekati akhir kuartal pertama tahun 2015, belum ada satu pun bank di Indonesia
yang pantas masuk Qualified ASEAN Bank. Padahal, jika berhasil lolos
kualifikasi QAB, tiket ekspansi regional sudah ditangan. Nelson Tampubolon,
Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Bidang Perbankan, beberapa waktu
lalu pernah mengatakan, jika ada, mungkin hanya bank BUMN yang punya potensi
masuk kategori QAB. Itupun hanya tiga bank, yakni Bank Mandiri, Bank Rakyat
Indonesia (BRI), dan Bank Negara Indonesia (BNI). Untuk perbankan swasta,
hampir semua bank yang punya kepantasan masuk kategori tersebut sebagian
sahamnya sudah dimiliki oleh asing. Jikapun ada yang belum diakuisisi asing,
mereka enggan berekspansi secara regional terkait dengan efisiensi kinerja.
Indonesia kini tengah berpacu dengan waktu dalam menyambut
pelaksanaan pasar bebas Asia Tenggara atau biasa disebut dengan Masyarakat
Ekonomi ASEAN (MEA) yang akan dimulai pada tahun 2015. ASEAN telah menyepakati
sektor-sektor prioritas menuju momen tersebut. Ketika berlangsung ASEAN Summit
ke-9 tahun 2003 ditetapkan 11 Priority Integration Sectors (PIS). Namun pada
tahun 2006 PIS yang ditetapkan berkembang menjadi 12 yang dibagi dalam dua
bagian yaitu tujuh sektor barang industri dan lima sektor jasa. Ketujuh sektor
barang industri terdiri atas produk berbasis pertanian, elektronik, perikanan,
produk berbasis karet, tekstil, otomotif, dan produk berbasis kayu. Sedangkan
kelima sektor jasa tersebut adalah transportasi udara, e-asean, pelayanan
kesehatan, turisme dan jasa logistik.
Keinginan ASEAN membentuk MEA didorong oleh perkembangan
eksternal dan internal kawasan. Dari sisi eksternal, Asia diprediksi akan
menjadi kekuatan ekonomi baru, dengan disokong oleh India, Tiongkok, dan
negara-negara ASEAN. Sedangkan secara internal, kekuatan ekonomi ASEAN sampai
tahun 2013 telah menghasilkan GDP sebesar US$ 3,36 triliun dengan laju
pertumbuhan sebesar 5,6 persen dan memiliki dukungan jumlah penduduk 617,68
juta orang.
Asean Economi Community atau (MEA) akan segera dihadapi
Indonesia. Konsekuensi dari kesepakatan tersebut membuka lebar pasar ekonomi di
kawasan regional Asean karenanya, jika ingin terlibat dan diperhitungkan,
Indonesia harus berbenah. Semua sector industry harus dilengkapi kemampuan
untuk bisa bersaing dengan negara ASEAN lainya. Tujuan yang ingin dicapai
melalui MEA adalah adanya aliran bebas barang, jasa, dan tenaga kerja terlatih,
serta aliran investasi yang lebih bebas. Dalam penerapanya pada 2015, MEA akan
menerapkan 12 sektor prioritas yang disebut free flow of skilled labor (arus
bebas tenaga kerja terampil).
Peluang
perbankan Indonesia untuk bersaing di pasar bebas Asean
Peluang perbankan Indonesia di pasar bebas asean sebenarnya
cukup besar. Paling tidak bagi Indonesia ada beberapa faktor yang mendukung
seperti peringkat Indonesia yang berada pada rangking 16 dunia dalam besaran
skala ekonomi dengan 108 juta penduduk. Dimana, jumlah penduduk ini merupakan
kelompok menengah yang sedang tumbuh. Sehingga berpotensi sebagai pembeli
barang-barang impor (sekitar 43 juta penduduk).
Kemudian perbaikan peringkat investasi Indonesia oleh lembaga
pemeringkat dunia, dan masuknya Indonesia sebagai peringkat ke 4 prospective
destination berdasarkan UNCTAD world investement report. Dan, pemerintah
sendiri telah menerbitkan aturan (keputusan Presiden) No.37/2014 yang memuat
banyak indicator yang harus dicapai dalam upaya untuk meningkatkan daya saing nasional
dan kesiapan menghadapi MEA yang akan dimulai 2015 itu. Awal September lalu
telah diterbitkan juga inpres No.6/2014, tentang peningkatan daya saing
menghadapi Masyarakat Ekonomi Asean, pemerintah Indonesia sudah menyiapkan
pengembangan sector industry, agar bisa bersaing di pasar bebas ASEAN itu.
Sebut saja upaya pengembangan industry perbankan yang masuk dalam 10
pengembangan industry yang harus diantar kegerbang pasar bebas dengan semua
keunggulanya.
Menjelang beberapa bulan penerapan MEA, semua sektor memang harus
dihadapi, siap tidak siap industri perbankan di Indonesia tak hanya harus
menjadi tuan rumah di negara sendiri, tapi juga memperlebar ekspansinya
kenegara ASEAN lainya. Dan para pengambil kebijakan sudah sewajarnya mendorong
kalangan perbankan nasional untuk menyiapkan SDM, memperkuat modal didalam
rangka penerapan Basel III dan membangun sistem teknologi yang yang
terintegratif.
Kesiapan
sektor perbankan Indonesia di pasar bebas ASEAN
Sektor perbankan Indonesia harus siap untuk itu. Karenanya,
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) perlu merancang
peta jalan atau roadmap perbankan Indonesia. Adapun pembuatan roadmap
tersebut secara terperinci dapat berupa arah yang lebih jelas dalam hal
konsolidasi perbankan dalam negeri, guna memperbesar size suatu bank, baik
secara alami maupun secara market driven. Perbankan nasional, khususnya bank
BUMN juga harus berperan aktif mengantisipasi pemberlakuan MEA 2015. Era bebas
pasar ini, dipastikan akan membuka alur lalu lintas barang dan jasa serta pasar
semakin lebar. Karenanya, pertumbuhan ekonomi regional harus terintegrasi
dengan ekonomi global. Dengan demikian, perbankan nasional memerlukan kesamaan
pandang dalam melihat pertumbuhan ekonomi regional. Dengan kesamaan pandang
regional itu, diharapkan perbankan Indonesia akan dapat menyelesaikan planning
(rencana), strategi, sasaran yang tepat bagi kemajuan ekonomi Indonesia.
Jika ingin terlibat aktif dan tidak terlindas dalam era bebas
pasar ASEAN, peran institusi seperti Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) juga
penting guna meningkatkan Good corporate government (GCG) pada industri
perbankan di Indonesia. Selain itu perbankan nasional juga perlu mengajak stake
holder, seperti perhimpunan bank-bank nasional (PERBANAS) dan institute bangkir
Indonesia (IBI) untuk menstimulasi semakin baiknya GCG bank untuk menghadapi
pasar bebas ekonomi ASEAN.
Bagaimanapun beratnya tantangan industri perbankan regional,
upaya mendorong efisiensi sektor perbankan yang berdaya saing tinggi harus
terus dilakukan. Hingga kini perbankan di Indonesia masih dinilai boros di
biaya operasional. Audit terhadap tingkat efisiensi bank terutama bank BUMN
yang memimpin pasar di Industri keuangan nasional ini, juga menjadi indikator
keberhasilan perbankan dalam mengelola rasio beban operasional terhadap
pendapatan operasional (BOPO) nya. Semakin rendah maka kekuatan daya saingnya
akan semakin tinggi. Sebaliknya, semakin tinggi efektivitas perbankan, semakin
kuat juga perbankan nasional untuk menciptakan lingkungan bisnis yang sehat,
sehingga akan menambah kuat kemampuan diri dalam menyongsong era pasar bebas
ASEAN. Kompetisi bisnis perbankan sangat ketat. Tidak hanya di industry
domestic, industry perbankan regional dan global jauh lebih menantang.
Perbankan di regional ASEAN memiliki tingkat kesehatan yang sangat tinggi.
Semakin ketatnya persaingan antara bank asing dengan bank lokal
sebenarnya mulai terasa dalam beberapa tahun terakhir. Seiring dengan derasnya
aliran masuk investor asing ke bank-bank nasional. Bank-bank asing mengakuisisi
saham bank nasional karena mereka ingin menjalankan bisnis perbankan di
Indonesia, mengingat pangsa pasar yang masih luas dan margin yang besar.
Saat ini pangsa pasar bank-bank BUMN semakin tergerus, meski
era persaingan bebas dengan bank-bank asing besar dari negara-negara ASEAN baru
akan berlaku 5 tahun lagi. Data statistik Perbankan Indonesia menunjukkan,
selama periode Desember 2010 hingga September 2014, penguasaan pangsa pasar
aset bank-bank asing dan campuran terhadap total aset perbankan nasional
semakin membesar, yakni dari 12,37 persen menjadi 12,88 persen. Sedangkan pada
saat yang sama, penguasaan pangsa pasar aset bank-bank BUMN semakin tergerus,
yakni dari 37,07 persen menjadi tinggal 34,29 persen terhadap total aset
industri perbankan. Chief Research and Strategy Network of Market Investor
(NMI) Reagy Sukmana mengatakan sudah saatnya pemerintah melakukan aksi nyata
dan tidak sekedar bermain wacana lagi mengingat persaingan liberisasi perbankan
tahun 2020 sudah didepan mata.
Peran
Strategis yang Terabaikan
Terkait peran strategis di ASEAN, Indonesia diharuskan memiliki
bank besar dengan modal kuat. Hal ini mengingat Indonesia mencakup lebih dari
40 persen luas wilayah ASEAN, dengan populasi mencapai 39 persen dari total
populasi ASEAN. Dari tingkat output perekonomian, Indonesia juga mempunyai
peran signifikan dengan menyumbang sedikitnya 35% Product Domestic Bruto (PDB)
kawasan. Bisa dikatakan Indonesia adalah ASEAN, dan ASEAN adalah Indonesia.
Belum adanya perbankan nasional yang pantas menjadi QAB
sangatlah mengkhawatirkan. Bank Mandiri misalnya. Sebagai bank terbesar, bank
tersebut “hanya” punya sokongan pemodalan Rp 92 triliun atau 8 miliar dollar AS
(unaudited) pada akhir tahun 2014. Bandingkan dengan kolega ASEAN seperti DBS,
UOB, OCBO (Singapura), dan Maybank (Malaysia) yang punya total kepemilikan aset
lebih dari 20 miliar dollar AS. Dengan nilai modal tersebut, Bank Mandiri harus
puas menduduki peringkat tujuh diantara bank-bank negara ASEAN lainnya. Belum
lagi terkait persyaratan rasio kecukupan modal (CAR) Bank Mandiri yang kini 16
persen, sedangkan untuk memenuhi kategori QAB minimal 17,5 persen pada 2019.
Padahal menurut Rini Soemarno, Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Bank
Mandiri merupakan bank pelat merah yang paling siap untuk menjadi calon QAB, baik
dari jumlah modal, prospek, maupun fokus usaha. Namun, modal yang ada saat ini,
sebesar Rp 92 triliun, jelas dirasa belum cukup. Itu dari sisi aset dan
persyaratan pemodalan. Lain halnya dengan tingkat penetrasi pasar.
Kondisi sekarang masih jauh dari ideal. Berdasarkan zonasi yang
dibuat oleh Bank Indonesia, tingkat penetrasi Bank Mandiri (dan seluruh bank
nasional lainnya) hanya berkutat di zona 1 hingga 5. Zona 6 yang terdiri atas
Nusa Tenggara Timur (NTT), Nusa Tenggara Barat (NTB), Sulawesi Tengah
(Sulteng), Gorontalo, Sulawesi Barat (Sulbar), Maluku, Maluku Utara, Papua, dan
Papua Barat rupanya masih menjadi anak tiri dan kurang digarap secara maksimal.
Dibandingkan dengan penetrasi yang dilakukan DBS, UOB, ataupun
OCBC yang telah merambah hingga punya ratusan cabang diseluruh kawasan Asia
Tenggara. Saat ini, hanya beberapa bank lokal yang memiliki kesempatan membuka
cabang di luar negeri. BNI memiliki lima kantor cabang di luar negeri, yakni di
London, New York, Tokyo, Singapura, dan Hongkong. Sebanyak satu sub cabang di
Osaka, cabang berkegiatan terbatas di Singapura, dan remittance representative
yang tersebar di Malaysia, Saudi Arabia, Qatar, Uni Emirat Arab, dan Amerika
Serikat.
Sumber:
Nama : Wiwi Kusmiarti
NPM : 27211460
Kelas : 4EB09
Akuntansi
Internasional